Sabtu, 03 Juni 2017

Menjual Derita

LELAKI asal Gunung Kidul itu sering mangkal di mulut gang, di depan toko sayur yang tak pernah sepi pembeli, tak jauh dari rumah saya. Walau belum tahu nama antar saya dan dia, kami terbilang akrab sekali. Dan bukankah sering kita akrab dengan penjual nasi goreng dengan menyebutnya sebagai Pak Reng, atau Abah Sate untuk penjual sate langganan kita, tanpa hirau nama sejati dari masing-masing.

Dengan Pak Puk itu, saya sering sekadar say hello atau kalau ada waktu agak longgar, kami ngobrol naglor-ngidul tanpa judul.

Yang sering dia tanyakan, setiap saya lewat dari mengantar si kecil, “Apa menu sarapan pagi ini?”.

Nasi rames”, itu selalu jawaban saya. “Ra mesti...” begitu saya menjelaskan artinya.

Dan lalu kami tertawa bersama. Betul, banyolan akan kehilangan kelucuannya bila terlalu sering dimainkan. Ia akan terasa garing. Untuk menyegarkannya, seperti tadi pagi itu, saya ambil duduk di sisinya. Masih jam enam lebih delapan, artinya masih ada waktu bagi saya untuk ngobrol dengan Pak Puk, sebelum nanti; jam tujuh lebih sedikit, saya mesti berangkat kerja.

Seperti biasa, kami bicara aneka topik. Misalnya; orang Jawa yang malah sering mengajari anak-anaknya tidak memakai bahasa Jawa, tetapi menggunakan bahasa oplosan macam: 'ndang cepetan tiduro sana, bangunnya besok ben gak kesiangan' atau sejenisnya. Ini, kami sepakat, akan melunturkan kemampuan bahasa Jawa bagi anak-anak Jawa. Sehingga tidaklah heran bila pelajaran Bahasa Jawa adalah termasuk mata pelajaran tersulit bagi semua murid yang nota bene ortunya adalah orang Jawa. Jangankan dalam ber-krama inggil, lhawong ngoko saja anak-anak sekarang gak lancar kok. Apa tumon, kok orang Jawa kesulitan mengerti pelajaran bahasa nenek moyangnya sendiri. Siapa, coba, oknum yang mesti disalahkan selain kedua orang tuanya?

Sebagai priyantun dari tlatah Ngayogyakarto Hadiningrat, tentu Pak Puk akrab betul dengan istilah dan atau idiom-idiom Jawa. Sebuah hal, yang sekali lagi, bisa jadi merupakan sesuatu yang asing bagi generasi Jawa kekinian. Ambil contoh; dalam berbusana itu ada paugeran yang namanya harus empan papan dan empan badan. Harus disesuaikan pakaian model apa untuk acara apa, dan kudu disesuaikan pula dengan size yang mengenakannya. “Mosok,”, kata Pak Puk, “pakaian ngapret yang ketat banget dikenakan oleh orang gembrot sampai bagian tubuh yang kudunya tertutup malah mecotot kabeh. Lha itu lak tidak empan badan namanya”.

Tetapi,” sela saya, “bukankah sekarang ini yang penting pede. Yang kemudian ukuran pantas-tidak dan semacamnya itu menjadi semakin menyempit parameternya. Yakni hanya menurut dirinya sendiri?”

Obrolan terhenti, ada dua ibu yang selesai berbelanja sayur datang membeli kerupuk pada Pak Puk.

Saya jadi ingat petuah yang sering diwejangkan oleh bapaknya para punakawan; Semar”, saya melanjutkan jagongan. “Yaitu; aja dumeh. Dalam terjemah bebas mungkin bisa diartikan jangan mentang-mentang”.

Dan sepertinya Pak Puk sepakat dengan saya bahwa aja dumeh itu bukan melulu tertuju untuk yang jaya, yang kaya, yang unggul. Tidak, tetapi cocok pula untuk yang jelata dan miskin papa.

Aja dumeh miskin lalu 'menjual kemiskinan' itu agar dikasihani.

Sampeyan pernah nonton acara Mikropon Pelunas Utang?” tanya Pak Puk. “Lha kok kemiskinan diumbar sedemikian rupa sebagai barang tontonan. Orang susah ditayangkan langsung di layar televisi nasional sambil mengumbar cerita sedih demi agar terbayar lunas utangnya.”

Jujur, saya tidak pernah tertarik menonton acara itu yang mungkin tak lebih dari sekadar eksploitasi kemiskanan. Utang si 'bintang tamu' yang dibayar hanya sekuku hitam bila dibandingkan dengan hasil pendapatan dari iklan.

Dalam banyak hal, sepertinya televisi memang sulit ditandingi. Ia bisa (tega) menjadikan apa saja sebagai dagangan untuk mendulang rating dan rupiah. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar