Selasa, 27 Juni 2017

Bipang; Cemilan Kenangan

SUATU malam, tetangga depan rumah pamit undur diri sejenak dari arena jagongan, “Sebentar, saya ambilkan camilan agar makin gayeng”, ujarnya.

Ia datang lagi dengan sewadah umbi yang lama sekali tidak saya nikmati. Bentuknya berimpang, nyaris seperti lengkuas. Tetapi, hmmm... hidung ini telah mengenalinya. Suguhan berjenis pala pendhem  ini mengingatkan saya saat kecil di desa dulu. Ketika kami tadarus mendaras kitab suci di bulan Ramadhan, ada tetangga yang rumahnya berjarak tujuh rumah dari langgar kecil tempat kami mengaji, membawa sebakul ganyong  rebus yang aromanya menggoda.

Penganan berjenis umbi ini kaya akan serat dan karbohidrat. Makanya, selain enak dinikmati sebagai cemilan, ia berperan pula mengenyangkan.

Di kota agak sulit menemukannya, walau di desa ia gampang ditemukan dan menjadi penyelamat di saat paceklik.

Baiklah, izinkan saya meloncat ke lain arah. Masih tentang penganan di masa kecil saya. Tentang buah tangan yang sering Bapak bawa sehabis pepergian. Semacam 'oleh-oleh kebangsaan' karena jenisnya cuma itu-itu melulu. Kalau bukan roti kasur, ya jipang. Kalau lagi beruntung, mungkin bapak lagi ada uang lebih, kami dibelikan kedua-duanya.

Kami menyebut roti kasur karena bentuknya seperti kasur, soal rasa; ia tawar belaka. Maka menikmatinya terasa istimewa kalau Emak membikinkan kami air panas dan gula yang diseduh pada gelas dan kami memakan roti tawar itu dengan dicelupkan dulu ke situ. Rasanya tiada duanya.

Bipang cap Jangkar, eh ternyata penganan ini khas Pasuruan.
(Foto: ediwe)
Sekarang tentang jipang.
Eits, ternyata sebutan kami itu keliru. Karena yang benar adalah bipang. Berasal dari bahasa Tiongkok; bi  berarti beras dan pang  artinya wangi. Makna harfiahnya beras wangi. Ya, penganan ini bahan pokoknya adalah beras yang dipanaskan lalu dicampur gula dan di-pres sedemikian rupa.

Semoga Anda sepakat, bahwa kerinduan itu kadang tiba-tiba muncul bukan melulu untuk sang mantan (yang apesnya, itu hanya bertepuk sebelah tangan), namun  bisa pula tertuju kepada penganan. Maka, ketika suatu sore saya mendapati seorang bapak tua menjajakan aneka camilan 'tempo doeloe' di jantung kota Surabaya ini dengan bipang sebagai salah satunya, saya membelinya.

Seperti ganyong yang anak sekarang kurang menyukainya, si bipang ini pun bernasib tak jauh beda. Buktinya, anak-anak saya kurang berselera berebut buah tangan itu saat saya tiba di rumah (berbeda ketika masa kecil saya dulu yang menganggapnya sebagai oleh-oleh istimewa). Karenanya, kemudian bipang itu hanya saya makan sendiri saja dengan kunyahan yang sebisa mungkin mengantarkan saya akan kenangan masa kecil dulu. *****

Sabtu, 03 Juni 2017

Menjual Derita

LELAKI asal Gunung Kidul itu sering mangkal di mulut gang, di depan toko sayur yang tak pernah sepi pembeli, tak jauh dari rumah saya. Walau belum tahu nama antar saya dan dia, kami terbilang akrab sekali. Dan bukankah sering kita akrab dengan penjual nasi goreng dengan menyebutnya sebagai Pak Reng, atau Abah Sate untuk penjual sate langganan kita, tanpa hirau nama sejati dari masing-masing.

Dengan Pak Puk itu, saya sering sekadar say hello atau kalau ada waktu agak longgar, kami ngobrol naglor-ngidul tanpa judul.

Yang sering dia tanyakan, setiap saya lewat dari mengantar si kecil, “Apa menu sarapan pagi ini?”.

Nasi rames”, itu selalu jawaban saya. “Ra mesti...” begitu saya menjelaskan artinya.

Dan lalu kami tertawa bersama. Betul, banyolan akan kehilangan kelucuannya bila terlalu sering dimainkan. Ia akan terasa garing. Untuk menyegarkannya, seperti tadi pagi itu, saya ambil duduk di sisinya. Masih jam enam lebih delapan, artinya masih ada waktu bagi saya untuk ngobrol dengan Pak Puk, sebelum nanti; jam tujuh lebih sedikit, saya mesti berangkat kerja.

Seperti biasa, kami bicara aneka topik. Misalnya; orang Jawa yang malah sering mengajari anak-anaknya tidak memakai bahasa Jawa, tetapi menggunakan bahasa oplosan macam: 'ndang cepetan tiduro sana, bangunnya besok ben gak kesiangan' atau sejenisnya. Ini, kami sepakat, akan melunturkan kemampuan bahasa Jawa bagi anak-anak Jawa. Sehingga tidaklah heran bila pelajaran Bahasa Jawa adalah termasuk mata pelajaran tersulit bagi semua murid yang nota bene ortunya adalah orang Jawa. Jangankan dalam ber-krama inggil, lhawong ngoko saja anak-anak sekarang gak lancar kok. Apa tumon, kok orang Jawa kesulitan mengerti pelajaran bahasa nenek moyangnya sendiri. Siapa, coba, oknum yang mesti disalahkan selain kedua orang tuanya?