Minggu, 28 Mei 2017

Silaturahim Dalam Rangka Ninmedia

SEKITAR limabelas meter masuk jalan Bypass Pandaan, saya menepikan kendaraan dan mampir ke sebuah toko di kiri jalan. Bukan, saya bukan hendak membeli sesuatu, tetapi, “Maaf, numpang tanya, Pak”, kata saya kepada seorang lelaki berpeci haji yang menjaga toko itu. “Kalau mau ke Duren Sewu, arahnya kemana ya?”

Putar balik ke tiga dari depan itu, langsung belok. Jalan pertama dari situ, Sampeyan belok kiri,” lelaki itu ramah berkata.

Setelah berterima kasih, saya melanjutkan perjalanan sesuai petunjuknya. Bukan apa-apa, dulu, sekira tujuh tahun lalu, karena terlalu banter membawa kendaraan, saat akan ke rumah seorang teman yang melalui wilayah Duren Sewu itu, saya sempat kebablasan jauh sekali. Jadi, daripada menjadi keledai (yang kesasar dua kali), saya lakukan itu begiu masuk Bypass.

Nah, ingat sudah. Saat masuk jalan pertama setelah U-turn ke tiga, saya ambil kiri. Dari sini, saya bisa langsung tancap gas. Namun saya malah berhenti dan meraih ponsel di saku. “Saya berangkat,” tak panjang yang saya tulis, karena ia saya kirim sebagai pesan singkat.

iya, sudah tak tunggu”, balasnya.

Iya, SMS yang saya kirim itu hanyalah tipu daya semata. Karena bukankah sejatinya saya sudah berangkat dari rumah satu jam sebelumnya. Saya berangkat pagi tentu agar tak terlalu kepanasan dan terjebak kemacetan di jalan. Dan bisa menikmati perjalanan dalam kecepatan jalan-jalan, bukan sebagai balapan.

Sesuai harapan, perjalanan tadi lancar jaya. Sidoarja, Porong, Japanan, Gempol naik ke arah Pandaan landai-landai saja volume kendaraan yang lewat. Maklum, Kamis itu (25 Mei 2015) adalah hari libur. Hanya ada satu dua truk besar dengan umur rada uzur memikul beban sarat berjalan nggremet ke arah Malang. Ini mengingatkan saya akan kekhawatiran serupa, truk itu gagal naik dan malah melorot, saat balik dari pulang kampung dan menguntit truk bermuatan pasir dari Lumajang ke arah Surabaya di jalan menanjak daerah Klakah.

Suguhan serba hangat, kecuali pisang, satfinder
reciever dan kacamata.
Dan dari saat saya berkirim SMS ke calon tuan rumah yang hendak saya tuju itu, berjarak kurang dari sepuluh kilometer. Tetapi ya itu, jalannya menanjak. Namun dengan jalan lebih mulus beraspal dibanding saat sata kesini beberapa tahun lalu, gas si Vario yang saya tunggangi bisa saya tarik sedemikian rupa.

Klagen Duren Sewu, yang dikelola sebagai tempat wisata alam dengan nama beken Telaga Seribu itu saya lewati sudah. Sepagi itu udara tidak lagi sedingin dulu, bukti bahwa pemanasan global nyata adanya. Kalau di dataran tinggi Prigen ini saja sudah demikian hawanya, tentu adalah hal wajar bila di Surabaya, tempat tinggal saya, terik matahari di jam tujuh pagi sudah bisa membuat kulit gosong.

Saya tiba di halaman rumah yang saya tuju dengan disambut hangat shohibul bait dengan masih bersarung, “katanya baru berangkat, kok sudah sampai”, ucapnya sambil menjabat tangan saya.

Ya, daripada kamu penasaran dan nunggu-nunggu aku agar bisa segera melihat Kakbah,” saya balas dengan berseloroh.

Demikianlah, kedatangan saya ini sungguh telah ditunggu karena si wajan telah dipasangnya sendiri. Peran saya hari ini hanya memasang LNB lalu pointing ke Ninmedia. Sudah itu saja.

Teh hangat, jagung manis rebus dan pisang barlin tersaji di meja sebelum saya memulai bekerja. Sebagai teman dekat, tuan rumah sudah tahu kalau saya tak minum kopi.

Basa-basi seperlunya saja, karena keperluan sesungguhnya ya supaya teman saya sekeluarga itu bisa menonton televisi dengan beragam channel (termasuk siaran langsung 24 jam dari Masjidil Haram) via satelit, gratis pula. Sebab, di desanya yang dataran tingii itu, untuk menonton televisi mesti pakai antena dengan tiang dari bambu tinggi sekali. Itu pun gambar yang diterima masih bersemut.

Pointing sudah berhasil, tuan rumah membetulkan genteng
yang tadi harus dilepas dulu agar bisa nyaman dalam tracking.
Dengan antena sudah dia pasang sendiri, cukup memudahkan saya dalam beraksi. Pasang LNB, goyang dumang antena beberapa saat, cling sudah. Lalu turun. Dan di ruang tengah, telah terhidang nasi beserta lauk-pauknya.

Seadanya saja, maklum di gunung, gak ada ikan. Cukup sayur saja,” istri teman saya itu, yang berasal dari Nganjuk, menyilakan saya makan bersama.

Kurang dari dua jam lalu saya telah sarapan di rumah. Tetapi, saya ingat kalimat seorang sahabat; jangan menolak pemberian tuan rumah, karena itu adalah rejekimu yang dititipkan Tuhan lewat meraka.

Nasi hangat, terong penyet plus sambal dengan tingkat kepedasan yang sedang, ditambah telur mata sapi dan kerupuk, duhai... lezat sekali rasanya.

Sekitar jam sembilan saya sudah pamit pulang. Dan, setandan pisang barlin, beberapa potong jagung rebus matang (juga ditambah jagung manis yang masih mentah) mengambil alih tempat tas alat saya yang saat berangkat tadi saya taruh di sela antara sadel dan stang motor matic saya. Kini tas alat itu saya kenakan sebagaimana mestinya ransel dikenakan.

Kalau berangkatnya tadi mesti tarik gas karena naik, pulangnya lebih banyak main rem karena jalan menurun.

Dari depan rumah langsung bisa memandang gunung.
Hari itu, entah kenapa, saya sampai lupa membeli klepon di sekiran bundaran Apollo untuk buah tangan anak-anak di rumah. Tetapi tentu saya tidak lupa bersyukur bahwa telah diberi kelancaran PP Surabaya-Prigen dalam silaturahim 'dalam rangka' ini. Jujur, ini kedatangan saya ke sekian kali ke rumah teman saya tadi. Semuanya, kalau saya pikir-pikir, bukan sebagai silturahim murni. Pertama saat putranya dikhitan, kedua saat ayahmya meninggal, dan kemarin itu; dalam rangka menyetel antena parabola.

Suatu hari nanti, entah kapan, saya ingin datang lagi untuk murni silaturahim. Juga, ke tempat Sampeyan. Boleh kan? ******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar