Kamis, 17 Maret 2016

Jejak Pencari Cicak


TENGAH malam kemarin, kami bicara kesana-kemari di teras rumah saya. Dari nama cucu pertama presiden Jokowi yang jan njawani tenan; Jan Ethes. Nama itu akan terbaca seperti kebarat-baratan bagi yang kurang paham istilah Jawa. Saya setuju, nama adalah juga doa dari orang tua untuk si jabang bayi. Dan Jan Ethes tentu sangat lebih baik dibanding Jan Nggapleki, misalnya.

Kami, tentu seperti siapapun yang seperti para pengamat di televisi. Yang pinter ngomong aneka topik dengan sangat ndakik. Bedanya, mereka terkenal dan dibayar, sementara kami bicara sepenjang malam tentu hanya mendapati busa muncul di sudut bibir. Apa coba yang tidak bisa kami bicarakan? Ndak ada. Semua bisa. Cerita tentang Saipul Jamil atau tentang si Jessica memang sudah rada redup ditayang di layar kaca, tetapi –kalau mau-- kita tak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan.

Saya bulan-bulan terakhir ini dengan sengaja mengurangi menonton berita di televisi dan atau membaca koran. Saya ingin membuktikan, tidak mengikuti berita yang beredar pun tidak masalah. Tak apa-apa kan mengistirahatkan pikiran dari ha-hal yang tidak kita ketahuipun tidak apa-apa. Bukankah sekarang sumber bacaan bertebaran banyak sekali dan akan lebih menyenangkan membaca hal-hal yang menyenangkan ketimbang mengikuti berita politik yang sering (dibikin) tak jelas ujung pangkalnya itu.

Disaat ingin membaca hanya yang menyenangkan, saat dalam obrolan ngalor-ngidul di tengah malam itu saya mendengar ada bupati muda yang baru sebulan dilantik dan sekarang ketangkap BNN dalam kasus narkoba, duh jan saya menyesal sekali. Menyesal sekali saya tahu berita itu. Karena tak mengetahuinya pun saya rasa saya tak akan menderita migrain atau kesemutan.

Ketika obrolan makin tak tentu arah dan kami saling menimpali dengan argumen masing-masing, dua orang melintas di gang depan rumah dengan memakai lampu di kepalanya dan setangkai tongkat berujung pipih dan lentur yang telah diolesi lem. Bukan, mereka bukan pencari kodok karena di tempat kami tak ada kodok ngorek yang teot-teot teblung itu.

Cari apa, Kak?” tanya saya dalam bahasa mereka karena saya dengar tadi mereka bicara dengan bahasa daerah yang kebetulan saya juga bisa.

Cari cicak,” jawab salah satu dari mereka.

Cicak? Buat apa?”

Buat dijual.”

Mengalirlah percakapan tentang harga cicak yang kalau sudah dikeringkan menjadi berharga 400 ribu rupiah padahal kalau dijual basah cuma sehraga 40 ribu rupiah per kilogramnya. “nDak tahu itu dibikin apa, yang penting saya cari dan menjualnya ke juragan yang menampungnya di Leces, Probolinggo sana,” jawabnya saat saya tanya cicak itu akan diproses manjadi jamu atau apa.

Ini dia. Kalau sebelumnya ada tokek yang bisa berharga sampai puluhan juta per ekor dengan berat dan ukuran tertentu, lha kok ini ada cicak yang nilai jualnya jan menggiurkan.
Nah, itulah hal sederhana yang lebih menggairahkan untuk dibicarakan ketimbang berita-berita tingkah polah selebritas pada tayangan infotainment yang kadang jan nggilani tenan.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar