Jumat, 19 Februari 2016

LGBT dan Kepunahan Generasi

MASA kecil dulu, setelah mengaji, hampir tiap malam kami nonton pertunjukan ludruk di gedung kesenian di kampung kami. Sebagai anak-anak, kami nunut ke siapa saja yang membeli karcis. Menggandeng tangannya, agar penjaga pintu masuk menganggap kami anak atau keponakannya.

Sebagai anak-anak, kami dibiarkan saja masuk ke ruang belakang panggung, tempat para pemain berdandan sebelum tampil. Di antara mereka, ada beberapa lelaki yang kemayu. Kami menyebutnya wandu. Biasanya mereka akan tampil setelah tari pembuka, remo. Bersanggul segede ban truk, memakai kebaya dan kain panjang, mamakai bedak dan lipstik rada menor, berbuah dada seruncing gunung Semeru, tetapi berjakun. Walau suara dalam tampilan koor tembang-tembang Jawa itu sudah diperempuan-perempuankan, tiada yang tak tahu kalau mereka adalah laki-laki.

Di luar jam pertunjukan, beberapa kali saya melihat diantara mereka. Yang tetap kemayu, tetap melambai, mungkin peran yang terlalu didalami sehingga kebawa di luar panggung. Atau, mereka memang lebih nyaman sebagai wandu ketimbang lelaki.

Saat SMP, di kelas saya punya dua orang teman yang kemayu begitu. Tindak-tanduknya gemulai, dan kalau berantem; saling jambak rambut dan mencubit. Jan persis perempuan. Sebagai remaja keren (ekhm, ekhm...) kala itu saya takut juga. Masa puber yang biasanya selain ditandai dengan panen jerawat, mulai timbul pula ketertarikan kepada lawan jenis, teman saya yang kemayu itu makin kentara saja kalau suka sesama 'pisang goreng'. Sebagai juga pemilik pisang goreng, saya harus jaga jarak. Kalau sampai si kemayu itu naksir saya, hiiii...... bisa gajah makan kawat; gawat.

Kini, kabar terakhir yang saya dapatkan, salah satu kawan kemayu saya itu sukses di Denpasar dan selain telah memiliki beberapa salon juga telah memiliki 'suami'. Bahkan, karena telah punya banyak uang, kabarnya ia telah melakukan operasi mengganti pisang gorengnya menjadi terang bulan.

Minggu, 14 Februari 2016

D i e t

Ilustrasi gambar: google
ANGKA pada timbangan di ruang Male Spa itu menunjuk angka 74,4 saat saya berdiri di atasnya. Oh, naik banget nih berat badan saya. Gara-gara sudah agak lama tidak donor darah, yang proses awalnya termasuk harus timbang badan dulu, menjadikan saya tidak tahu perkembangan berat badan saya. Terakhir donor mendapati bobot saya 68 kilogram, tahu-tahu sekarang naik 6,4 kg!

Saya harus diet!

Dasar saya ini tidak terlalu pintar, yang saya tahu tentang diet adalah mengurangi porsi makan. Dari yang biasanya setiap makan nasinya sepiring munjung, kini cuma sepertiganya saja. Yang penting sayur, yang penting buah. Untuk sayur, tidak terlalu ada masalah; di depan rumah ada pohon turi, yang tiada lelah berbunga saban hari. Untuk buah, ada sih pohon belimbing yang sudah mulai berbuah, tapi ya itu, buahnya kunthing, kecil-kecil. Padahal, di lemari es, dominasi isinya adalah air dan es belaka. Buah seperti apel, jeruk dan lainnya, cuma kadang-kadang saja menghuninya, hanya di tanggal muda.

Pendek cerita, sejak saya tahu bobot saya segitu, saya melakukan pengurangan porsi makan. Dan dua hari berselang, ketika ke Male Spa lagi, saya melakukan timbang badan. Hasilnya; pada display tertera angka: 72,4 kgs. Wah, hebat ini, berhasil ini diet saya. Dalam hitungan saya, kalau dua hari saja turun dua kilo, dalam sepuluh hari berat badan saya bisa tinggal limapuluh sekian kilo. Atletis banget. Dan untuk membentuk perut ini menjadi sixpack, tinggal rajin nge-gym dan olahraga lainnya. Itu tak terlalu sulit, saya kenal baik instruktur gym di tempat saya kerja ini.

Tahu hasilnya signifikan begitu, saya makin semangat melakukan diet. Suatu sore, saya makan nasi dua sendok saja, tetapi sayur eseng-eseng kembang turinya segunung. Hasilnya luar biasa: jika biasanya saya BAB jam setengah lima pagi, kali itu jam dua dini hari sudah harus berlari ke belakang, masur-masur. Buang hajat dengan tanpa ngedan karena isi perut langsung mengucur begitu saya dalam posisi. Ya, saya mencret!

Pagi, mampir ke ruang marketing dan mendapati alat timbang badan di sudut ruang. Teman-teman marketing dan accounting yang cakep-cakep dan bertubuh proporsional walau saya lihat suka ngemil itu, ternyata selalu mengontrol berat badan mereka. Iseng, saya numpang timbang badan di situ. Alhamdulllah, berkat 'murus' semalam, bobot saya menjadi 70, 2 kilo.

Sorenya, sepulang kerja saya ke apotek membelikan sirup obat batuk-pilek untuk si bungsu. Setelah mendapatkan obat yang saya maksudkan, sebelum pulang, begitu mata ini melihat ada alat timbang badan di sisi sudut selatan, saya nunut timbang. Hasilnya: jarum menunjuk angka 65 kilogram!

Besoknya, di tempat kerja, saya niat menuju timbangan digital tempat saya timbang kali pertama. Saya menemui teman yang sedang incharge di Male Spa, “Timbangan ini akurat?” tanya saya.

“Oh, itu sudah lama rusak,” katanya datar.

Uh, dasar! Dan lagi, jangan-jangan timbangan di ruang marketing dan di apotek itu juga sudah seperti omongan para pendusta; tak bisa dipercaya. *****


Senin, 08 Februari 2016

Kentrung

DUA pengamen beraksi di saat Imlek, pagi ini. Bukan ber-barongsai,
tapi berkoploria. Hal lumrah, walau saya kurang suka. Dan tarafnya akan
meningkat menjadi sangat tidak suka bila syairnya 'saru'.

Saya lalu ingat zaman kecil dulu, di kampung. Saat masih acap ditemui
pengamen yang sama sekali beda dengan kasunyatan sekarang.
Biasanya mereka mengamen secara duo, biasanya salah satu atau
dua-duanya berkacamata hitam,
karena memang tuna netra.
Mereka memainkan rebana dengan lagu-lagu bersyair seperti pantun. Berisi petuah
atau kisah-kisah para orang suci. Tentu saja, sebagai hiburan, sesekali mereka
menyusupkan pantun lucu sebagai penyegar.

Itu, kami menyebutkan kentrung. Sebuah seni yang entah pergi kemana kini. ****

Sabtu, 06 Februari 2016

Puri Matahari Kebakaran, Sebuah Simulasi

SEKITAR jam setengah tiga sore, hari Rabu 3 Pebruari 2016 yang lalu, alarm menjerit di Control Room. Pada display Fire Alarm Control terbaca seluruh alarm di gedung berdering, general alarm. Sebuah indikasi terjadi kobaran api. Display menunjuk lokasi kejadian di lantai 10-01.

Setelah mengetahui kejadian tersebut lewat komunikasi HT, semua karyawan ambil peran sesuai prosedur yang ditetapkan. Bagian engineering, walau pompa hidrant dalam posisi auto, ada teknisi yang langsung siaga ke ruang pompa dan tempat lain sesuai tugasnya. Sebagian lagi bergabung dengan tim scurity menuju titik terjadinya kebakaran untuk melakukan upaya pemadaman. Disusul kemudian tim House Keeping yang dengan sigap membawa tandu dan perlengkapan pendukung lainnya sebagai tim evakuasi dan PPPK, termasuk mengarahkan penghuni lantai di bawah dan lantai di atas agar tidak terlalu panik. Mengarahkan para penghuni untuk turun melalui tanga darurat dengan teratur.

Tak kalah sibuknya adalah petugas front desk yang menenangkan para tamu dan penghuni yang tampak panik di area lobby. Menunjukkan arah ke tempat aman, essembly point di area putting green yang luas di sisi barat gedung.

Tidak hanya memantau,
Bambang Sunarso, Property Manager
Puri Matahari Residence,
juga berjibaku memadamkan api
dalam sesi Fire drill.
(Foto: Nanin Indah)
Syukurlah api segera berhasil dipadamkan dan tidak sampai menjalar ke unit lain pada bangunan jangkung setinggi 32 lantai di jalan HR Muhammad itu. Syukurlah korban hanya mengalami cidera yang tak terlalu parah. Lebih bersyukur lagi, semua kejadian di atas hanyalah sebuah simulasi.

Tetapi, "Sekalipun kita berharap kejadian kebakaran tidak pernah terjadi di gedung kita," Bambang Sunarso, Property Manager Apartment Puri Matahari, menjelaskan, "kesiapan dan kesigapan kita dalam menanggulangi bahaya kebakaran harus terus diasah. Untuk itulah, kali ini untuk kesekian kalinya, kita adakan simulasi ini."

Walau simulasi kali ini tidak melibatkan Dinas PMK Surabaya sebagai instrukturnya, tetapi pihak PT Candi2000 Realtindo (pengelola Puri Matahari Residence) menggandeng PT Sanindo sebagai pemateri dalam training class sebelum acara simulasi di lapangan. PT Sanindo adalah perusahaan ternama yang bergerak di bidang pengadaan alat-alat pemadam yang berskala internasional dan sudah menjadi mitra kerja Puri Matahari sejak awal berdiri hingga sekarang. Untuk sistem lift dan tahapan-tahapan yang mesti dilakukan dalam kondisi darurat, tim engineering memang telah mengetahuinya, tetapi untuk me-refresh sekaligus meng-upgrade kecakapan, pihak management mendatangkan tim teknisi PT Mitsubishi Jaya Elevator and Escalator sebagai tim pendamping.

Seusai simulasi memang ada beberapa catatan sebagai bahan koreksi. Tetapi secara garis besar, semua berjalan sesuai rencana dan masing-masing personel telah mengerti peran dan tugas masing-masing.

"Kita akan adakan simulasi ini secara berkala," Pak Bambang kembali menegaskan, "dan berikutnya kita akan gelar dengan tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Sehingga, kita akan menghadapi kejadian yang lebih mendekakati keadaan sebenarnya. Tetapi, sekali lagi, semoga kejadian kebakan tidak sampai menimpa gedung kita," pungkasnya. *****