Selasa, 26 Januari 2016

Cetak Ulang Foto Usang

Foto di buku raport SD.
PULANG kampung ke rumah Ayah selalu saja ada cerita. Setelah sekian lama meninggalkan kampung halaman (termasuk halamannya pak Kampung) selalu ada kenangan yang tiba-tiba ikut terjaga dari tidurnya. Rumpun bambu yang masih saja rimbun di utara rumah mbah Kung (begitu saya memanggilnya demi mengajari anak-anak saya) .Suara berjuta daunnya yang saling bergesek karena tertiup angin, melahirkan desis yang melankolis. Selebihnya, rumah tua itu tetapkan sama; di depan musholla ada berderet kembang 'kuping gajah', 'sri rejeki' sampai 'beras kutah'. Ia adalah sekadar nama bunga, walau yang mbah Kung suka hanyalah daunnya. Kuping gajah; berdaun hijau tua dengan garis-garis seperti sungai mengalir ke segala arah. Sri rejeki; lebih ramping penampilannya, rupanya dietnya berhasil. Beras kutah; agak ramping juga, dengan taburan warna putih di sekujur daunnya, laksana beras tumpah.

Apalah arti sebuah nama. Lengkapnya lagi; apalah arti nama bunga. Karena ketika gemuruh 'gelombang cinta' yang beberapa waktu lalu melanda, saya selalu gagal menumbuhkan benih cinta kepada bunga. Kecuali satu saja; bunga turi. Yang saya tanam di depan rumah di Surabaya, yang benihnya juga saya impor langsung dari halaman samping rumah mbah Kung.

Masuk ke dalam rumah, ada kesetiaan menempel di dinding diatas opening yang tembus ke ruang tengah. Foto presiden dan wakilnya. Bukti mbah Kung sangat mencintai pemimpinnya. Hampir selesai dua periode kepemimpinan pak SBY, mbah Kung tetap saja setia memajang foto Gus Dur dan mbak Mega. Masuk lebih ke dalam lagi, kamar. Disitu, di sebuah lemari tersimpan bertumpuk kertas yang tanpa saya pesan apa-apa ke mbah Kung, bertahun-tahun tetap bahagia di tempatnya. Entahlah, kenapa mbah Kung, atau Mbah Putri, tak tergoda untuk memusnahkannya. Paling tidak kertas-kertas itu bisa ditukar bumbu dapur ke warung sebelah. Karena ia bisa menjelma menjadi bungkus terasi, bawang putih dan semacamnya.

Kertas-kertas itu adalah tulisan saya saat SMP dulu. Dan membacanya lagi, jadi malu sendiri. Kok bisa-bisanya saya menulis begitu. Menulis surat cinta (monyet) yang beraroma salam Rexona. Juga kok bisa-bisanya saya menulis sebagai 'aku' yang selalu berselimut cinta dalam setiap cerita. Mengapa?

Selasa, 19 Januari 2016

Sang Penakluk, Anjing ke Baghdad dan Dewa Mabuk

Judul Buku: Biografi Gus Dur
(Judul asli: The Autohorized Biography of Abdurrahman Wahid,
diterbitkan pertama kali oleh Equinox Publishing)
Penulis: Greg Barton
Penerjemah: Lie Hua
Penerbit dalam Bahasa Indonesia: Saufa bekerjasama dengan IRCiSoD dan LKiS
Cetakan Pertama: Januari 2016
Halaman: xxvi + 514


 DUA orang pemuda dari Indonesia --satu asal Rembang, satunya lagi asal Jombang-- melanjutkan pendidikan ke Kairo, Mesir. Untuk urusan makanan, tugas pun dibagi; satu bagian belanja, satunya lagi bagian memasak untuk kemudian setelah matang disantap bersama. Menu favorit si juru masak adalah jeroan sapi, yang kalau di Mesir bagian itu oleh tempat pemotongan hewan tidak dimanfaatkan. Sebuah karunia bagi dua pemuda itu karena, dengan hanya mengambil secara cuma-cuma jeroan di tempat penjagalan sapi, tentu saja bisa menghemat biaya sebagai mahasiswa yang jauh dari orang tua.

“Untuk apa sih setiap hari ambil jeroan?” iseng salah satu pegawai pemotongan hewan itu bertanya ketika si pemuda Rembang mengambil jeroan.

“Untuk makanan anjing,” asal saja si Rembang menjawab.

Waktu terus berjalan dan suplai jeroan untuk bahan makanan tak pernah kehabisan. Sampai kemudian si mahasiswa asal Jombang yang pinter masak dan kutu buku itu melanjutkan studi ke Baghdad, Irak. Jadilah si mahasiswa Rembang itu tak ada lagi yang memasakkan jeroan sapi dan ketika suatu waktu ia berpapasan dengan pemilik rumah potong sapi, ia ditanya, “Hei, kok sudah lama ente gak ambil jeroan di tempat ane kenapa?”

“Anjingnya sudah pindah ke Bagddad,” jawab si Rembang dengan enteng sekali.

Ya, pemuda Rembang itu namanya Ahmad Mustofa Bisri dan lelaki asal Jombang itu namanya Abdurrahman ad-Dakkil (Abdurahman sang Penakluk) Siapa Abdurrahman Ad-Dakkil? Dialah Abdurrahman Wahid. Siapa Abdurrahman Wahid? Dialah Gus Dur. Siapa Gus Dur?

Ada banyak tulisan mengenai tokoh yang satu ini, tetapi sebagian di antaranya adalah ditulis oleh orang yang sangat mencintainya. Dengan posisi sangat cinta, orang sering tegelincir pada sikap yang tidak obyektif dalam menulis atau bertindak. Seperti kelakuan seorang cendekiawan Prancis, namanya Andee Feillard, yang langsung masuk ke gereja dan lalu berdoa ketika mendengar Gus Dur, sahabat yang dicintainya, dikabarkan telah berpulang, padahal ia 'hanya' menderita stroke akut dan sedang dirawat di RS.

Sesaat setelah melewati masa kritis, Greg masuk ke kamar tempat Gus Dur dirawat dan menceritakan sahabat Prancisnya itu, “Anda tahu hal ini tidak lazim, bukan? Andrre adalah seorang cendekiawan Prancis – cendekiawan Prancis tidak ke gereja, apalagi berdoa.”

Sambil tersenyum Gus Dur menjawab,”Di Prancis, semua orang terbaik adalah seperti itu.” (hal. 9)

Presiden Indonesia paling fotogenic adalah Soekarno. Sampai sekarang, tak sedikit orang memajang gambar Si Bung itu di rumahnya dengan aneka pose. Ya, dipotret dari sudut mana saja Bung Karno memang memancarkan kharisma, walau (zaman itu ia telah sadar betul kekuatan sebuah gambar) mesti dipilih dulu mana yang layak dipublikasikan, mana yang tidak. Jadi, yang beredar sekarang ini adalah foto-foto hasil seleksi dan benarlah adanya, semua fotonya tampak punya aura lebih. Lha Gus Dur?

Selasa, 12 Januari 2016

Wanita dan Belanja

UNTUK urusan ketahanan berbelanja, kaki para suami tak ada apa-apanya dibanding stamina betis para istri. Hanya demi sepotong baju idaman, istri saya tak lelah melakukan 'tawaf' berkali-kali di mal. Dilanjut 'sa'i' dari lantai satu sampai lantai empat. Keluar-masuk gerai dan dari sekian banyak pilahan, belum ada yang sreg sebagai pilihan.

Jujur, saya adalah suami yang kurang setia dalam menemani istri berbelanja. Lain halnya dengan Pak Lurah di tempat saya. Beliau pernah bercerita, setiap ke mal, selalu saja digandengnya tangan si istri dengan erat sekali dan tak terlepaskan.

"Cie, ciee..." ledek seorang warga yang memergokiya. "Pak Lurah setia banget sama Bu Lurah, bergandeng tangan erat sekali."
"Sttt, ini bukan setia, nDul," balas Pak Lurah. "Kalau tangannya kulepaskan, bahaya; ia akan belanja." *****