Sabtu, 22 Agustus 2015

Gambar Anak-Anak

SAYA pernah membaca sebuah esai yang ditulis Kang Prie GS di Suara Merdeka pada Juli 2009. Tulisan dengan gaya renyah yang khas itu membahas tentang lomba menggambar untuk anak-anak dengan Prie GS sebagai ketua panitianya.

Kemarin, saya pun setengah hari berurusan dengan lomba serupa, bedanya adalah saya bukan sebagai panitia dan hanya ketiban getah sebagai pengantar saja. Getah? Oh, tunggu dulu. Apakah megantar si kecil yang masih TK untuk mengikuti lomba 'remeh' ini adalah kurang mbois dilakukan oleh seorang Ayah yang sampai membolos dari kerja?

Awalnya, karena saya bekerja dan istri juga bekerja, sementara si kecil juga tak mau diantar oleh Bu Sum, pengasuhnya, maka kami berikan hak prerogatif kepadanya untuk memilih, “Diantar Ibuk atau Ayah?”

Ayah,” dengan gemas ia berkata.

Ya, sudah. Jadilah saya menjadi pengantarnya.

Pagi itu, sesuai yang dicantumkan dalam pemberitahuan, kami langsung menuju lokasi lomba tanpa terlebih dulu mampir ke sekolah. Lokasi itu adalah sebuah restoran fast food baru yang belum lama buka di daerah kami. Kalaulah mau, bisa saja saya memunculkan dugaan lomba itu adalah 'konspirasi' antara pihak TK dan pengelola restoran dalam rangka mempromosikan diri. Dan untuk itu pastilah ada semacam fee.

Jam setengah sembilan sesuai yang tertera di undangan, puluhan anak TK teman anak saya sudah memenuhi ruangan, dan sebanyak itu pulalah jumlah pengantarnya dengan hanya tiga orang diantaranya yang laki-laki. Menjadi minoritas diantara mayoritas Ibu-ibu tentu bisa menimbulkan perasaan risi. Tetapi, demi anak, layakkan hal itu dirasakan? Tidak. Lagian, diantara dominasi Ibu-ibu yang sebagian merias wajahnya dengan make up lengkap seperti hendak ke pesta, justru saya dengan mudah bisa menjungkir-balikkan keadaan menjadi orang tertampan di ruang itu dengan saingan yang tak seberapa.

Begitu lomba dimulai, kegaduhan lebih pecah di ruangan yang tak seberapa luas di lantai tiga itu. Anak-anak bersemangat mewarnai gambar yang diberikan panitia, para pengantar tak kalah sibuknya memilihkan warna crayon yang sesuai, sementara di sudut lain ada pengantar yang pontang-panting merayu anaknya yang mogok tak mau mewarnai dan lebih bersemangat mengeraskan suara tangisnya entah oleh sebab apa. Tingkah polah anak dalam menggambar pun tak kalah serunya. Ada yang duduk normal, ada yang meminta tambahan kursi agar bisa tengkurap di atasnya, ada pula yang mewarnai gambar sambil berdiri karena meja dan kursinya memang tidak dirancang untuk postur tubuh anak TK.

Saya pikir, inilah miniatur realita anak-anak negeri ini. Sebagian mereka kehilangan haknya untuk 'menggambar' sesuai kehendak dan imajinasinya sendiri. Dalam taraf sekecil itu, intervensi orang tua begitu kuatnya dengan doktrin; bagian ini harus warna biru, bagian itu harus ungu, misalnya. Ini menjadi sebangun dengan fenomena anak-anak yang nyaris kehilangan lagu anak-anak dan cenderung terpaksa gandrung kepada lagu-lagu yang pantasnya hanya masuk ke telinga orang dewasa.

Belum lama, dalam sebuah ajang pencarian bakat, saya sempat melihat di layar stasiun televisi nasional seorang anak menyanyikan lagu Rekayasa Cinta yang populer lewat suara Calemia Malik dengan goyang dangdut dan lirikan mata genit ala penyanyi dewasa. Celakanya, para penonton di studio, bisa jadi disitu juga ada orang tuanya, malah ikut bergoyang senang. Begitulah, seorang anak telah direkayasa sedemikian rupa jauh mendahului masanya yang makin lama makin terasa lumrah saja di sekitar kita. Dan untuk mengembalikannya ke 'jalur yang benar', tidak cukup hanya dengan mengelus dada. *****

Selasa, 18 Agustus 2015

Bumbung Kosong

 (Dimuat harian Radar Surabaya, edisi Minggu, 16 Agustus 2015)

GESEKAN antar daun bambu yang tertup angin sungguh membuat malam serasa mendesis. Embun turun terlalu dini, membasuh pipi dedaunan. Dingin menggigit setiap tulang, dan Rindang mengusir dingin itu dengan menyulut rokok. Istrinya menganyam tikar mendong di ruang tengah, berteman lampu oblik yang nyalanya meliuk-liuk. Anaknya, namanya Rimba, duabelas tahun, mengaji di surau Mbah Seki. Dan kalau malam Jumat Legi begini, biasanya ia pulang pagi, selepas subuh. Begitulah, sebajingan-bajingannya Rindang, ia ingin Rimba mengerti agama. Agar tidak sebejat ayahnya!

Rindang bajingan?
Oh itu dulu. Sekarang ia tobat. Sejak Pak Gelam, ketua kelompoknya, malam-malam dijemput orang-orang berjaket hitam lalu tak kembali hingga kini. Juga Watam, teman karibnya, yang setelah beberapa hari menghilang, jasadnya yang dimasukkan karung, ditemukan orang desa sebelah mengapung di sungai dekat kuburan.

Kamis, 13 Agustus 2015

B e n d e r a

KETIKA memasuki bulan Agustus begini, dulu –seperti juga dilakukan tetangga kanan-kiri, Ayah memotong bambu sepanjang sekitar delapanpuluh centimeter. Dengan memasang berjarak per satu meter, Ayah memotong sejumlah yang dibutuhkan. Setelah potongan bambu itu tertancap di pinggir jalan (enam puluh centi yang terlihat), langkah selanjutnya adalah mewarnai bambu itu dengan merah-putih. Untuk putih Ayah menggunakan kapur/gamping dan untuk merahnya menggunakan bahan yang sama dengan hanya menambahkan pewarna/pigmen saja. Dengan bahan sesederhana itu, jangan ditanya keawetannya. Prinsipnya, bisa tidak luntur sebulan Agustus saja, sudah baguslah. Kalau mau awet dan lebih bagus, tentu bisa memakai cat bermerek yang berslogan 'mengubah yang biasa menjadi luar biasa'. Tetapi, zaman itu, memenuhi kebutuhan perut sepertinya lebih utama.

Saya tidak tahu, Ayah memasang bambu merah-putih itu sebagai kesadaran sendiri atau atas perintah Pak Lurah melalui perangkatnya. Tetapi, dengan kanan-kiri di sepanjang jalan desa kami berhiaskan bambu merah-putih begitu, ada sesuatu yang lain terasa. Rasa itu sungguh ada di dada, walau agak sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Tak melulu bambu, saat saya kecil itu, bukan hanya kendaraan besar macam bis, truk atau angkutan pedesaan (orang kampung kami menyebutnya 'taksi' untuk mobil berjenis Colt sebagai moda transportasi bertrayek pendek itu), motor dan sepeda angin pun memasang bendera kecil di setir kanannya. Dengan keadaan ekonomi yang berbeda jauh dengan sekarang, orang-orang mau membeli bendera lalu memasangnya di kendaraannya. Sekarang?

Saat berangkat kerja tadi pagi, dengan sekian banyak pedagang bendera di setiap sudut kota, tak satu pun saya temui motor atau sepeda atau kendaraan besar lain memasang bendera kecil itu pada penyangga spion kanannya. Karena demand  tidak ada, bisa jadi para penjual bendera itu tidak menyediakannya. Itu soal bisnis, sementara memasang bendera pada kendaraan bisa jadi sebagai soal nasionalis. Demi kepentingan nasionalis (dengan memesan bendera kecil untuk dipasang di kendaraan) niscaya penjual bendera akan dengan senang hati memenuhinya. Secara nominal, tak usahnya membandingkannya harga bendera kecil itu dengan sebungkus rokok, misalnya.

Perkara nasionalisme tak harus dikoarkan, yang penting diwujudkan. Masalahnya adalah, jika ada yang berkoar tidak dan mewujudkannya pun tidak itu termasuk makhluk apa. Sebagai yang ikut merasakan susahnya hidup dalam cengkeraman penjajah, dan ikut pula berjuang demi kemerdekaan, tentu para orang tua kita mempunyai alasan lain untuk mencintai negeri ini. Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Negeri yang sampai ada yang menyebutkan sebagai cuilan sorga ini. Lha saya, sebagai generasi magak --yang jangankan mengangkat senjata, mengangkat cangkul untuk kerja bakti saja cekidang-cekiding  karena jijik membersihkan sampah di selokan padahal itu hasil buangan saya sendiri--, alasan apa yang harus dikedepankan untuk mencintai merah-putih. Sementara para petinggi negeri, yang harusnya memberi teladan, bisa jadi di dadanya ada warna lain yang lebih dominan. Bukan sang saka, tetapi warna biru, merah, kuning, hijau atau warna lain sesuai warna simbol parpol. Atau bukan; tak satu pun warna itu yang selalu berkibar di jiwanya. Namun lambaian rupiah yang senantiasa menjadi pemandu pikiran dan langkah kemana akan terarah. Juga termasuk kitakah itu?

Setelah membuat kalimat terakhir di atas barusan, saya kembali meng-klik file lagu di komputer. Saya memilih Cokelat. Entah mengapa, dari pertama muncul –saat vokalisnya masih Kikan dulu, saya langsung jatuh cinta pada lagu ciptaan Eross Candra ini;

biar saja ku tak seharum bunga mawar
tapi s'lalu ku coba 'tuk mengharumkanmu
biar saja ku tak seelok langit sore
tapi s'lalu ku coba 'tuk mengindahkanmu

merah-putih teruslah kau berkibar
di ujung tiang tertinggi
di Indonesiaku ini.... *****



Rabu, 12 Agustus 2015

Pitutur dari Suriname

JANGAN malu mengaku sebagai orang Jawa. Orang Jawa harus bangga dengan
identitas yang luhur budi pekerti seperti yang diwariskan nenek
moyang.

-Paul Salam Sumohardjo, sesepuh masyarakat Jawa di Suriname.