Selasa, 23 Juli 2013

Senin, 22 Juli 2013

Mengail Takjil

SETELAH tiba siang saat dhuhur menjelang, jam dua lewat seperempat saya balik pulang lagi ke Surabaya. Untunglah cuaca bulan puasa kali ini sungguh bersahabat, tidak panas-panas amat. Dengan berangkat jam segitu itu, dengan memacu si Supra saya sewajarnya, jam empat kurang sedikit saya sudah sampai jalan Veteran Gresik. Di sebelum perempatan Nippon Paint, saya belok kiri. Asyar telah beberapa waktu berlalu, dan di masjid di jalan Veteran inilah saya menunaikannya sekalipun kurang tepat waktu.

Selesai sholat, wajah terasa segar walau tenggorokan dan bibir masih kering. Sebelum keluar dari masjid, saya edarkan pandangan ke segala arah. Ada layar di atas mimbar. Berisikan waktu jadwal sholat, anjuran untuk mematikan ponsel, waktu WIB yang berbentuk tulisan berjalan muncul bergantian. Dan, saat saya menoleh ke dinding kanan, saya dapati tanda tangan yang sepertinya saya kenal. Selembar marmer kalau bukan dari Ujungpandang ya asal Tulungagung warna putih-putih kuning dengan pahatan bertuliskan kalimat yang menerangkan masjid ini dibangun oleh Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila pada tahun 1994. Ya, sampai disini tentu Sampeyan sudah tahu yang saya maksud; tanda tangan yang saya bilang tadi adalah tanda tangan Pak Harto, presiden kala itu yang sekaligus sebagai tokoh di balik Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila.

Selepas itu, saya melanjutkan perjalanan menuju Surabaya. Perkiraan saya, sampai rumah nanti pas adzan maghrib. Hari Minggu begitu tak terlalu khawatir saya akan kemacetan. Kecuali satu, di proyek jembatan Branjangan yang tak kunjung rampung. Jembatan sebagai jalur utama Gresik-Surabaya itu saya setiap lewat melihat dikerjakan seperti tak sungguh-sungguh. Tak banyak aktifitas, setak banyak pula orang yang bekerja di sana. Yang banyak adalah para pemuda yang memanfaatkan kemacetan itu untuk mengedarkan wadah meminta uang sumbangan. Tak jelas betul uang itu dikumpulkan untuk apa. Tak ada penanda bahwa itu dilakukan demi membangun musholla, misalnya. Yang terlihat malah, tidak sedikit pemuda itu menyodorkan wadah sambil menghisap rokok. Sungguh tindakan kurang sopan di bulan ramadhan.

Kemacetan saban hari di Jembatan Branjangan sungguh lebih tak terelakkan kala lebaran nanti. Menghindari itu bisa juga sih. Tetapi rutenya sungguh melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi lewat Menganti. Lanjut mBobo muter tembus terminal Bunder.

Singkat kata, benar saja; jam lima seperempat saya sudah masuk jalan utama Surabaya. Di Bundaran Satelit, saat lampu merah, ada beberapa pemuda bersarung Atlas membentangkan sepanduk di tengah jalan. Para pemuda lainnya mendekati pengendara sambil membagi takjil. Ah, lumayan. Kalau nanti adzan berkumandang sebelum saya sampai rumah, paling tidak telah ada bekal untuk membuat puasa batal.

Saat sampai di seberang Ciputra World, tepatnya di depan Gedung Juang 45, ketika beberapa pengendara menepi, saya ikutan antre. Lumayan lagi; sebungkus nasi. Masuk jalan Adityawarman lanjut jalan Kutai nihil, tak ada pembagi takjil. Baru di jalan Diponegoro, saya kembali menerima sebungkus es mewah rasa blewah. Mewah? Ah, bukankah seteguk air saja sudah sedemikian nikmat kala berbuka?

Begitulah selama Ramadhan, di beberapa tempat takjil gratis bertebaran. Kalau mau (dan tidak malu pada diri sendiri) tentu bisa saja setiap sore berkeliling kota mencari yang demikian. Mengail takjil sambil ngabuburit, menunggu saat adzan maghrib. *****


Sabtu, 20 Juli 2013

Ibadah Donor Darah

SUDAH menjadi kelaziman, setiap bulan ramadhan datang, stok darah di PMI berkurang. Ini dikarenakan, salah satunya, para pendonor rutin yang secara suka-rela tiga bulan sekali menonorkan darahnya, (dan bulan ini sudah tiba waktu berikutnya) karena sedang berpuasa, menunda untuk berdonor setelah lebaran saja. Padahal kebutuhan darah tidak mengenal itu. Setiap hari selalu saja ada pasien yang membutuhkannya.

Bagaimana PMI menyiasati sepinya pendonor yang datang ke kantornya?
Ya, tentu dengan cara jemput bola. Salah satu caranya, PMI memarkai mobil khusus untuk ditempatkan di tempat strategis dalam rangka menjaring pendonor. Di Surabaya ini, setiap malam selama Ramadhan ini, PMI memakai mini bus khusus unit transfusi darah di Taman Bungkul.

Karena sudah lama sekali saya tidak donor, setelah mengikuti acara Buka Bersama di tempat kerja, kemarin sore saya menuju kesitu. Di dekat Taman Bungkul yang cantik, PMI memarkir dua mini bus. Satu merek Hyundai bernopol L 7503 NP. Dengan ada logo SCTV di bodinya, saya duga mobil itu adalah hibah dari SCTV dalam salah satu program CSR perusahaan media milik grup Emtek itu. Satunya lagi merek Izusu hasil rancangan karoseri Tugas Anda. Nah, ke mobil Izusu yang saya lupa tak mencatat lengkap nopolnya itulah saya masuk untuk berdonor.

“Setiap hari ramai begini, Mbak?” sambil lengan saya dibebat pengukur tensi, saya bertanya.

“Ya, Pak.” sambil menjawab, cekatan sekali petugas muda berjilbab itu menangani pendonor.

Dalam mobil yang dibentuk sedemikian rupa itu, dapat sekaligus menangani empat pendonor, yang ditangani oleh dua petugas. Dengan kabin ber-AC, ada empat kursi panjang yang dibuat nyaman untuk duduk besandar sambil menyelonjorkan kaki, kami bisa disedot darahnya sambil santai menonton dua buah televisi LCD ukuran 19 inchi.

“Melayani sampai jam berapa, Mbak?” saya lirik darah saya mengalir lancar lewat selang kecil menuju kantong yang diletakkan di meja kecil di dekat petugas.

“Setiap hari kita bawa seratus kantong kosong, jadi kalau kantong itu habis jam delapan, ya jam delapan kami tutup,” terang perempuan yang setiap akan menusukkan jarum ke lengan pendonor selalu saya dengar membaca basmalah itu.

Lebih jauh, perempuan asli Surabaya berumur sekitar duapuluh tahunan yang tak sempat saya tanya namanya itu menerangkan, dalam bulan ramadhan PMI memang harus lebih aktif 'turun' menjemput pendonor. Tidak itu saja, sebagai perangsang agar orang mau menonorkan darahnya saat bulan puasa, PMI menambah 'sesuatu' sebagai tanda terima kasihnya. Saya lihat, ada banyak sekali bungkusan lumayan besar disiapkan.

“Sembako, Pak,” katanya ketika saya tanya apa isinya.

“Nah, untuk sembako itu PMI dapat dari mana? Maksud saya, apa itu sumbangan dari...”

“Ya, dari donatur. Kali ini kami dapat dari Rotary Club Surabaya.”

Tak terasa, sambil bicara-bicara santai, tiba-tiba sudah selesai. Jam 19.05 mulai, tak sampai lima belas kemudian saya sudah keluar dari mobil dan dikasih sebungkus tas plastik besar aneka isi.

Keluar dari mobil, saya lihat pendonor yang antre melebihi saat saya datang tadi. Entahlah, apakah itu sebagai bentuk kesadaran, bahwa berdonor saat melakukan puasa itu tidak apa-apa asal dilakukan setelah berbuka, atau mereka datang karena demi bingkisannya.

Di tempat parkir, saat saya akan pulang, ada seorang bapak yang datang akan menempati tempat motor yang akan saya tinggalkan. “Ramai, Pak. Antre panjang,” kata saya.

“Dapat apa?” lelaki setngah baya itu malah bertanya sambil menatap bingkisan yang saya bawa.

Karena belum membukanya, saya raba saja tas palstik itu, “Kaos, sekaleng susu, minyak goreng, gula, beras, beberapa bungkus mie instan dan....”

“Ndak apa-apa, Pak. Sekali pun antre, kalau dapat sebanyak itu ndak apa-apa. Daripada donor di Embong Ploso (kantor PMI) kita ndak dapat apa-apa,” mantap lelaki itu memarkir motornya untuk kemudian ikutan lebih mengularkan antrean yang memang sudah panjang.

Begitulah, selain ada kalimat 'mereka selamat, kita sehat', di pantat mobil minibus Izusu itu juga ada kata-kata; donor darah itu gaya, donor darah itu cinta, donor darah itu sehat dan donor darah itu ibadah.
Nah, itu dia; ibadah. Sebuah laku ikhlas, tanpa pamrih. Sebuah amalan semata karena Tuhan yang imbalannya seringkali dipahami akan diterima nanti di hari kemudian. Tetapi, di tengah kehidupan yang segalanya maunya bisa didapat secara instan, ganjaran ibadah pun diharapkan bisa dterima secara kontan. *****

Jumat, 12 Juli 2013

Kyai Zailani



NAMANYA kyai Zailani. Saya tidak tahu pekerjaan lainnya selain saban hari mengayuh sepeda tuanya menjajakan kitab-kitab. Sepeda itu sedemikian tuanya, sampai tidak kentara lagi warna catnya selain warna asli besi yang di sana-sini telah mulai digerogoti karat. Tas lusuh, selusuh sarung, baju dan kopiah hitam yang telah menguning pinggirnya adalah trade mark-nya.

Siang yang terik, atau kadang pagi-pagi, sering beliau bertamu ke rumah saya. Bapak saya akan dengan senang hati menerimanya, dan segera menghentikan segala kegiatannya sebagai tukang kayu. Untuk kemudian meminta ibu membuatkan teh manis. Kalau sedang tidak punya teh tubruk tjap Bandulan, ibu akan memetik beberapa helai pucuk daun jeruk keprok di depan rumah untuk kemudian diduetkan dengan gula yang diseduh air panas; jadilah ia minuman rasa (daun) jeruk.

Saat itu saya mungkin baru umur sepuluh atau sebelas tahun. Dan setiap kali kyai Zailani datang, saya akan ikutan nimbrung sebagai pendengar. Beberapa bahasan ‘tingkat tinggi’ kala itu tentu tidak bisa saya pahami. Tetapi biasanya, setelah bicara tentang ilmu agama yang mendalam, beliau –mungkin tahu itu yang saya tunggu—akan bercerita tentang hal-hal lucu. Tentang Abu Nawas, misalnya. Yang selalu saya ingat adalah, di antara sambil bercerita itu, beliau selalu ikutan tertawa.

Sekalipun sudah renta dengan sepeda yang tak kalah tuanya, ada cerita yang --walau tidak masuk akal-- banyak diyakini orang. Yakni; jangan sekali-kali di jalan menyalipnya dengan rasa congkak atau menyepelekan. Karena sengebut apapun orang menyalipnya, di depan nanti, si penyalip itu akan menemui lagi kyai Zailani mengayuh sepeda dengan kayuhan tenaga tuanya.


Tidak jauh dari rumahnya yang sangat sederhana, agak ke utara sedikit, ada surau yang disitu saban hari beliau mengajar santri-santrinya. Kalau bulan puasa begini, lazimnya surau, tempat itupun dipakai untuk tarawih berjamaah. Tetapi, jamaah sholat tarawih kyai Zailani adalah orang-orang khusus. Orang-orang  yang tak menghitung jam berapa nanti sholat tarawih akan berakhir. Karena sebagaimana saat beliau naik sepeda tuanya, dalam memimpin sholat tarawih itu pun beliau sangat pelan sekali.

Beberapa orang dengan nada guyon menyebut sholat tarawih di surau kyai Zailani seperti sedang menumpang bis Kenongo. Sampeyan tahu, saat itu bis Kenongo bodinya sudah rapuh sedemikian rupa. Trayeknya jarak dekat saja; Jember-Lumajang PP. Jalannya ogah-ogahan, seperti tak memedulikan penumpang yang ingin segera tiba di tempat tujuan.

Lain halnya dengan bis Akas atau Tjipto yang kala itu merajai jalanan. Jalannya selalu ngebut, sliat-sliut, wuzzz, wuzz, wuzz... Dan tak sedikit orang suka cara yang begitu itu. Tak terkecuali dalam sholat tarawih. Imam yang biasa membaca Al-Fatihah dengan cepat dalam satu tarikan nafas, ia laksana sopir bis yang disukai penumpang. Padahal mengemudi dengan ngebut itu risikonya juga makin besar. Tak peduli Sumber Kencono berganti nama menjadi Sumber Selamat, kalau cara mengemudinya tetap ugal-ugalan ya tetap saja membahayakan.

Kyai Zailani baik dalam bersepeda maupun dalam memimpin sholat tarawih sama sekali tak terburu-buru. Yang diburu barangkali cuma satu; selamat sampai tujuan. *****

Senin, 01 Juli 2013

Blusukan ke Pasar ngGedongan

SEMALAM saya blusukan ke Pasar Wadungasri (ngGedongan). Banyaknya pengunjung, membuat area parkir motor yang tak seberapa luas menjadi penuh sesak. Karena tempat parkir di depan penuh, oleh petugas parkir, saya diarahkan untuk memarkir Supra tunggangan saya di lorong sisi timur pasar. Dari situ, untuk menuju para penjual pakaian di lantai dua, saya naik lewat tangga sempit nan kotor.

Di lantai dua, jalan antara stand penjual begitu sempitnya. Ditambah stok dagangan yang sudah menggunung, membuat tempat itu terasa sesak. Selain penjual aneka pakaian, alas kaki sampai kosmetik, di sela dominasi pajangan dagangan berbahan kain, saya juga temukan seorang penjual kopi disitu. Melihat kompor yang menyala di bawah meja mungil itu, membuat saya ngeri. Bagaimana jadinya kalau kompor itu meleduk? Tentu apinya akan cepat menyambar barang-barang mudah terbakar di kiri-kanannya. Lebih ngerinya lagi, kalau hal itu terjadi (tetapi semoga saja tidak akan pernah terjadi. Amin....) para pengunjung tentu akan sulit berlari menyelamatkan diri melewati jalan sempit, juga tangga yang tak kalah sempit.

Setelah sejenak singgah di stand-stand untuk sekadar melihat-lihat, selanjutnya saya menyempatkan diri mengobrol dengan salah satu penjual pakaian yang di saku belakang celananya saya lihat terselip sapu tangan dengan bahan seperti kain handuk yang tentu difungsikan sebagai pengelap keringat. Ya, dengan suasana sesesak itu, hanya orang yang punya kelainan yang tidak bermandi peluh.

“Sudah mulai ramai, Mas?” saya bertanya.

“Alhamdulillah, Pak,” jawab lelaki yang nada bicaranya sangat Jawa sekali itu.

“Aslinya mana?” itu pertanyaan yang bagi saya amat sakti untuk membuka pembicaraan selanjutnya akan menjadi lebih akrab lagi.

“Saya dari dekat sini saja, kok,” saya duga itu jawaban guyon. Buktinya, “Saya asli Sragen, Pak,” lanjutnya membenarkan dugaan saya. Ah, pantesan nada bicaranya mengingatkan saya akan logat Kyai Ma'ruf Islamuddin yang ceramahnya sering saya dengar di radio El-Victor.

Sambil bicara-bicara dengan saya itu, tangannya cekatan sekali menata dagangan aneka pakainan; untuk anak-anak dan dewasa, laki-laki atau untuk busana perempuan. Semua ada. Dari daster sampai model yang busana ketat.

“Sudah nyetok untuk persiapan lebaran ya?” saya bertanya.

“Iya, Pak,” jawab pemuda yang apesnya semalam itu saya lupa bertanya siapa namanya. Usianya saya taksir baru sekitar tiga puluh limaan. “Seminggu sebelum puasa begini, alhamdulilah sudah mulai ramai. Saya sudah hapal siklusnya. Nanti kalau puasa dapat seminggu mulai sepi; banyak orang lagi giat-giatnya sholat tarawih. Baru ketika lima belas hari sebelum lebaran, penjualan akan makin ramai lagi. Sementara jamaah sholat tarawih di masjid-masjid makin berkurang, dan lebih giat berjamaah di pasar-pasar untuk membeli pakaian...” candanya.

Senyum saya menanggapi ucapannya barusan, adalah bentuk setuju akan statement-nya yang memang kenyataannya demikian.*****