Kamis, 27 September 2012

Kekuasaan yang Menggiurkan

KHOFIFAH KEMBALI”, begitu bunyi spanduk yang terpasang di beberapa tempat sejak beberapa hari ini. Pesan yang disampaikan jelas. Tujuan yang dimaksud pun jelas: bahwa kursi yang sekarang ini sedang diduduki Pakde Karwo bakal ada yang menggoyang untuk direbut pada pilgub mendatang. Intinya, kursi kekuasaan bagi sebagian orang memang selalu menggiurkan.

Tetapi, sejauh ini, tidak diketahui siapa pemasang spanduk itu. Jadi, siapa sejatinya pengusung Khofifah pada pilgub yang akan digelar setahun lagi ini? Pada pilgub yang lalu, tokoh Muslimat NU ini memang menjadi lawan tanding yang sengit bagi Pakde Karwo. Kala itu ia berpasangan dengan tokoh yang –menurut hemat saya-- agak kurang dikenal publik; Mujiono. Lalu, siapa pasangan yang digandeng Khofifah pada laga rematch dengan Pakde Karwo nanti? Belum jelas. Yang pasti jelas adalah, seperti biasa, warga nahdliyin akan jadi rebutan dalam mendulang suara.

Pasuruan, salah satu basis nahdliyin, hari-hari ini juga sedang ramai oleh persiapan pilkada. Di seluruh pelosok banyak sekali bertebaran sepanduk dan poster para tokoh yang mempunyai hasrat maju bertanding. Seperti biasa, spanduk dan poster itu dibikin sedemikian rupa agar nyaman dilihat. Sekaligus disisipkan pesan-pesan manis. Misalnya, ada salah satu tokoh yang mengusung tagline 'kita semua bersaudara', atau 'saya siap bekerja untuk rakyat' dsb.

Semua poster itu menampilkan tokoh sendiri saja. Belum berduaan dengan wakilnya. Atau bisa jadi ada dua tokoh yang nantinya bersatu maju bersama. Dan untuk menentukan siapa yang sebagai Kepala, siapa yang harus rela 'hanya' sebagai wakil, diundi dulu seberapa tebal 'amunisi' politiknya. Atau agar gampang, bagi yang modalnya sama-sama cekak, secara suit  saja.

Kreasi poster itu sedemikian bebasnya. Kalau pada pilgub yang lalu pakde Karwo memakai istilah Karsa (sebagai gabungan dari Sukarwo dan Saifullah Yusuf) atau Khofifah memakai istilah Kaji karena berpasangan dengan Mujianto, di Pasuruan kita bisa dapati salah satu tokoh membuat posternya dengan menjiplak logo kesebelasan Manchester United. Dengan bentuk yang jan mak pleg-sama, tetapi hanya menghilangkan bagian tengah dari logo tim Setan Merah itu dan menggantinya dengan tulisan MU.

Saya tidak terlalu memahami apakah memang orang Pasuruan termasuk pecinta fanatik kesebelasan besutan Sir Alex Ferguson itu sehingga seorang tokoh memakai atributnya untuk menggaet suara mereka pada pilkada mendatang. Tetapi, semakin membaca poster itu saya makin menyadari –bisa jadi-- itu hanyalah jurus dewa mabuk seperti pada film Mandarin yang pernah saya tonton di televisi. Karena tulisan MU di tengah logo tim papan atas liga utama Inggris tidak berarti Manchester United, tetapi Mas Udik.

Ada-ada saja...





Rabu, 19 September 2012

Demonstran Sexy

JUMAT kemarin (14 September), khotib salat Jumat singkat sekali khutbahnya. Menjadikan saya punya lebih banyak waktu untuk ngeluyur dulu sebelum balik kantor lagi. Tujuannya ke sebuah toko buku yang tak jauh dari masjid itu. Dan pada rak buku-buku sastra, saya menemukan satu buku tipis yang nyelempit agak ke bawah. Dengan cover yang menggoda iman, saya comot buku itu. Dan semakin tergoda iman saya saat mendapati nama Binhad Nurrohmat sebagai penulisnya. 

Kendati sebagai buku lama, saya ambil itu sebagai salah satu buku yang saya beli. Karena terbungkus plastik tentu saya tak tahu isinya apa. Ketika saya buka, astaghfirullah..... buku itu sungguh ter-la-lu (meminjam istilah bang Haji).
Isinya asyik sih. Tetapi buku yang terdiri dari 122 halaman itu tidak sedikit per lembar halamannya yang hanya terdiri dari tiga baris kalimat. Itu pun salah satu kalimatnya adalah judul.

Dan sebelum orasi pamungkas yang ditulis panjang lebar oleh Yudi Latif, pada halaman ke 109 (judulnya Bukan Kata Kritikus) Binhad menulis begini; "Penyair serius tabu membaca buku ini".

Tentu saya tidak pantas untuk 'tersinggung'; saya bukanlah penyair, lebih-lebih yang serius.

Salam.

Senin, 10 September 2012

Iklan Manatahan....

RUMAH saya tidak jauh jaraknya dari kampus Universitas Surabaya (Ubaya). Hal yang saya perhatikan belakangan ini, diantaranya, adalah banyak sekali rumah-rumah kost yang direnovasi sedemikian rupa menjadi bangunan berbentuk vertikal dengan arsitektur minimalis modern. Ini, menurut prakiraan saya, dikarenakan tidak jauh dari kampus Ubaya itu, telah berdiri megah sebuah apartement yang sepertinya memang membidik para mahasiswa sebagai segmentasi pasarnya. Metropolis, nama apartement itu, bagus sekali okupansinya. Dan disisi lain, hal itu mengurangi tingkat hunian rumah-rumah kost gaya lama. Ini membuat para pemilik rumah kost model jadul harus berbenah.


Mahasiswa, sesuai perkembangan zaman, lebih suka ‘kost’ di apartement.
Lihatlah, banyak sekali apartement baru dibangun di dekat sebuah kampus. Ambil contoh, di dekat kampus Universitas Petra di Siwalankerto, termasuk juga Universitas Ciputra yang membangun UC Apartement  di kawasan Surabaya Barat sana.


Di RMS (ah, jangan artikan itu sebagai Republik Maluku Selatan, tetapi Rungkut Mejoyo Selatan), wilayah terdekat kampus Ubaya, sekalipun ada beberapa yang merombak bangunan menjadi lebih tinggi dan modern, masih banyak sekali terdapat rumah-rumah besar dengan arsitektur tahun 80an yang difungsikan sebagai tempat kost mahasiswa.

Rumah-rumah kost konvensional itu, saya lihat diantaranya menempelkan tulisan di pintu pagar. Bunyi  tulisan itu ada yang macam begini; terima kost. Atau agak panjang dan lebih spesifik seperti; terima kost putri. Atau ada juga yang lebih komplet; terima kost, fasilitas OK. Kamar mandi sendiri-sendiri. Juga tersedia kamar VIIP. (Untuk tulisan yang terakhir itu, sialnya, saya sedang tidak membawa kamera.) Tentu yang dimaksud pemilik kost adalah; tersedia kamar VVIP. Hehe...

Seringkali kita dapati ‘iklan’ pemilik rumah kost itu tidak hanya ditempel di pagar rumah. Namun juga dipaku di pohon-pohon pinggir jalan. Jelas agar coverage area-nya makin luas, agar ‘dagangannya’ (baca: iklan rumah kost-nya) dibaca lebih banyak orang. Iklan-iklan itu selain terbuat dari kertas, agar lebih tahan lama, ada yang membuatnya dari selembar papan atau bahkan seng. Dari tulisan tangan sampai yang hasil olahan printer.

Di jalan Sedati dekat kawasan bandara Juanda, sore tadi saya dapati sebuah iklan tentang rumah kost yang berbahan seng. Bentuk tulisannya kurang rapi, seperti iklan-iklan dari ‘tukang talang’ atau ‘ahli kunci’ atau jasa ‘kuras WC’. Biasa saja. Yang tidak biasa adalah bunyi tulisannya. Kalau di rumah-rumah yang menerima kost, kata-katanya adalah ‘terima kost’. Namun, di Sedati ini tertera  ‘menerima rumah kost’.

Tidak tahu saya; maksudnya menerima kost, atau memang menerima rumah kost. Bukankah itu adalah dua hal yang berlainan arti? Tadinya itu saja yang saya perhatikan. Tetapi, semakin membaca, semakin tidak tahan saya untuk tidak membuatnya menjadi catatan pendek ini.

Apa pun nama orang, tentu tidak layak untuk ditertawakan. Dan ketika ada orang tertarik tawaran iklan itu, selain tertulis nomor-nomor telepon yang bisa dihubungi, juga ada nama pemilik iklan yang bisa disapa. Membaca nama itu, sungguh, saya ingin biasa-biasa saja. Tidak tersenyum, apalagi menertawainya. Saya tahan sekuat bibir saya, tapi... oh, tak tahan juga.
Mana tahan?! *****
Iklan Manatahan.
Foto: ewe.

Jumat, 07 September 2012

Kekuatan

"KEKUATAN bukan hanya bersumber dari kemampuan fisik, melainkan juga dari keteguhan hati" -

 Mahatma Gandhi

Rabu, 05 September 2012

Janda Royal, Bingung dan Terancam


SETIAP saya pulang ke desa, emak selalu sibuk menyiapkan menu makan. Saya selalu langsung menyetopnya bila tujuannya memasak berbahan daging ayam. Bukannya saya anti makan daging dan penganut vegetarian. Bukan. Tetapi saya selalu rindu akan masakan emak yang jarang saya temui di kota; eseng-eseng genjer.

Makan berteman eseng-eseng genjer itu, plus sambal terasi bertabur teri, hmm... tak tahan saya untuk tidak bolak-balik nambah nasi lagi.

Lain emak, lain pula masakan mendiang nenek yang sampai sekarang saya kenang. Sayur lumbu. Lumbu itu, Sampeyan tahu, adalah nama daun talas. Bukan sembarang talas, tetapi talas yang bernama bentul. Betul, buahnya yang dijadikan gambar merek rokok Bentoel  itu.

Yang namanya daun talas, kalau dimasak tentulah lunak. Mblekotrok. Dan warnanya hijau pekat. Atau malah cenderung menjurus menghitam. Tidak polos sih, karena sayur 'lumbu' itu ditambah kedelai putih. Jadinya, tampak kontras. Mblekotrok  hitam bertabur kedelai yang mulus kemletus. Entah apa bumbunya, pokoknya rasa sayur daun lumbu ini khas. Dengan tambahan cabe secukupnya, jan maknyus  bagi lidah saya yang sederhana ini.

Kuliner kelas kampung memang aneka rupa. Sekalipun, tentu saja, emak atau nenek saya tidak menghias sedemikian rupa saat menyajikannya. Tidak seperti lazim kita temui pada hidangan di restoran-restoran. Menu-menu itu tampil bersahaja apa adanya. Dan malah kadang namanya terdengar unik dan sekenanya.

Untuk gorengan, misalnya. Ketika tape singkong dibalut tepung dan digoreng, di kampung saya ia bernama 'rondo royal'. Yang kalau diterjemahkan menjadi 'janda royal'. Ada pula yang namanya jibeg. Padahal jibeg itu, kalau dialih-bahasakan menjadi bingung, pusing yang sangat pusing pokoknya. Dan jibeg itu berbahan buah sawo matang yang digoreng. Buah sawo digoreng? Kalau pisang goreng sih sudah umum, lha kalau sawo digoreng?! Ini, konon, asal muasalnya; Karena bingung (jibeg) tidak ada pisang yang layak digoreng, sementara tamu-tamu sudah datang, eh di dapur yang ada cuma sawo. Maka, selain sawo disuguhkan lawaran sebagai buah, selebihnya digoreng saja. Jadilah ia  jibeg.

Kembali ke soal menu makan. Kali ini tampil sebagai sekumpulan bahan mentah yang dirajang. Ada mentimun, kacang panjang, lamtoro, kemangi, kelapa agak muda yang diparut dan aneka sayur lainnya. Bumbunya yang agak pedas, dengan aroma kencur yang harum, ia terasa segar dijadikan lauk makan siang. Dan entah siapa yang memberinya nama sedemikian ngawurnya. Saya tidak tahu di daerah Sampeyan ia bernama apa, tetapi di desa saya ia dinamakan terancam! *****

Minggu, 02 September 2012

Abang Odong-odong Jangan Begitu Dong...

JEMPUT bola. Itu metode yang banyak dipakai berbagai pihak untuk meningkatkan pelayanan. Sebutlah misalnya pelayanan SIM Keliling, Samsat Keliling, Pos Keliling atau E-Buz-nya bank BRI. Dengan mendatangi begitu, tentu terasa ada nilai plusnya. Customer menjadi lebih punya waktu ketimbang harus mendatangi kantor-kantor dimaksud.

Dan layanan jemput bola itu kemudian merambah ke bidang yang bukan layanan publik dari sebuah instansi. Ia bisa kita dapati berupa mobil yang dimodifikasi sedemikian rupa menjadi toko keliling. Atau para ibu tidak perlu lagi belanja ke pasar untuk keperluan pengadaan sayur-mayur yang akan dimasak hari itu. Sudah banyak kita temui para abang penjaja sayur bermotor yang pagi-pagi sudah sliwar-sliwer di sekitar rumah  kita. Untuk perkara jahit-menjahit, pun sudah ada tukang permak keliling.

Dulu, dikampung saya, para orang tua mengajak anak untuk bisa naik komidi putar atau dremolen tentu harus mendatangi pasar malam dulu. Dan pasar malam itu, sampeyan tahu, tidak saban waktu ada. Ia pindah dari desa satu kedesa yang lain dalam kurun tertentu. Kalau tidak ada pasar malam, jangan harap kita menemukan kereta kelinci, misalnya. Sekarang jangan tanya. Pagi siang malam ada saja kereta kelinci, komidi putar, atau perahu-perahuan yang datang menjajakan jasa dengan sistem jemput bola.

Benar, sekarang ia lebih populer disebut odong-odong. Segala mainan ala pasar malam tetapi dimodifikasi dengan bentuk mini itu, datang tiap waktu menggoda iman anak-anak kecil. Makanya, bagi orang tua seperti saya, selain uang jajan, paling tidak harus dianggarkan pula uang odong-odong.

Si kecil saya (Faiz, 2,5 tahun), mana tahu kalau saya lagi harus mengetatkan ikat pinggang. Ia akan langsung minta naik odong-odong begitu mendengar suara sirine yang meraung-raung dari becak odong-odong itu. Padahal, tarifnya minimal seribu rupiah untuk durasi tiga lagu anak-anak yang diputar. Ya sekitar lima belas menitlah. Itu yang odong-odong manual, dipancal layaknya becak. Kalau yang pakai mesin, misalnya kereta kelinci atau yang sejenisnya, ongkosnya lebih mahal. Tiga ribu rupiah bareng si ibunya. (Karena, tentu mengkhawatirkan melepas si kecil naik sendiri kereta hasil sulapan motor roda tiga dengan empat gerbong kecil yang digandengnya). Padahal, dalam sehari, ada sekian banyak odong-odong yang beroperasi. Padahalnya lagi, yang namanya anak-anak, mana pernah bosan merasakan sensasi naik odong-odong.

Sambil menunggui si kecil yang asyik naik odong-odong model perahu yang bergerak maju-mundur, saya bertanya kepada abang odong-odong tentang pendapatannya dalam sehari operasi.

“Setelah saya pakai ngopi, beli rokok dan makan, dalam sehari saya rata-rata bawa pulang uang seratus ribu,” kata lelaki (berumur sekitar 50 tahunan) asal Kediri yang sebelumnya bekerja sebagai buruh pabrik di PT Unilever itu. Lebih lanjut ia bercerita, odong-odongnya ini ia beli empat tahun lalu seharga 7,5 juta. “Sekarang, saya pesen lagi sudah naik menjadi sepuluh juta.”

Ingin menambah armada odong-odongnya, dari yang sekarang punya dua (satu unit dioperasikan orang lain dengan sistem setoran per hari 30 ribu), tentu hal ini bisa dijadikan indikasi betapa menjanjikannya bisnis odong-odong ini. Dan saya perhatikan, pelayanan si tukang odong-odong ini termasuk memuaskan. Artinya, ketika si anak belum mau turun padahal sudah seharusnya turun, dengan sabar ia masih mau mengayuh odong-odongnya untuk satu lagu lagi tanpa biaya tambahan.

Tentu tidak semua begitu. Ada pula yang sedikit menjengkelkan. Tadi malam, misalnya. Ketika jam delapan seperempat, dan si kecil saya sudah ‘mapan’ tidur, di mulut gang yang berjarak duapuluh meter dari rumah, ada odong-odong yang datang. Ia pakai mesin. Berbentuk kereta kecil empat gerbong dengan rel yang disangga sedemikian rupa. Untuk memindahkan dari lokasi satu kelain tempat, si abang odong-odong menariknya menggunakan motor Honda GL.

Seperti biasa, untuk menggoda para Balita, suara sirine adalah alat pemanggil yang ampuh. Masalahnya adalah, si kecil saya yang sudah liyer-liyer mau tidur, akhirnya merengek dan kemudian menangis minta naik. Dan hari itu, entah sudah untuk keberapa kalinya ia naik odong-odong. Menurut saya, cari duit ya cari duit, tetapi jangan sampai begitu dong. Jam yang sudah masuk waktunya si kecil tidur, mbokya jangan diganggu.

Bagi saya, aneka jajanan snack sungguh tidak baik dikonsumsi anak-anak karena kandungan bahannya (MSG-nya, atau pewarnanya, atau pemanis buatannya, dan sebagainya), dan untuk si odong-odong, efek sampingnya adalah; sedikit-banyak ia ikutan memengaruhi stabilitas isi kantong. *****