Minggu, 26 Agustus 2012

Invasi Televisi

--> (Artikel ini disiarkan di halaman Horizon harian Radar Surabaya edisi Minggu, 26 Agustus 2012.)

BULAN Agustus ini ada tiga stasiun tivi yang berulang tahun. RCTI,  SCTV dan TVRI. Tepatnya tanggal 24 Agustus, yang juga diperingati sebagai Hari Televisi  Indonesia.

Dan tengoklah ke kiri atau ke kanan, ke seantero rumah tetangga, nyaris tiada rumah tanpa pesawat televisi. Ia mengisi ruang tamu, kamar tidur bahkan sampai dapur. Sungguh, televisi, selain roda, adalah penemuan  ‘gila’ yang berhasil dibuat manusia modern. Untuk itu, kita perlu berterima kasih kepada John Logie Baird. Karena hasil utak atiknya yang terpacu penemuan Gugliemo Marconi yang lebih dulu menemukan gelombang radio, membuat  ia yakin video pun bisa dikirimkan melalu sinyal. Pada 1927 ia berhasil memancarkan gelombang televisi dari London ke Glasglow. Dan setahun kemudian, pada 1928, ia kembali sukses memancarkan sinyal televisi dari London ke New York.

Dan hari ini, siaran yang sedang Anda tonton di kamar tidur, ruang tamu atau bahkan kamar mandi, bisa saja dipancarkan lebih jauh dari jarak antara London-New York! Sungguh, kotak ajaib ini telah dengan sukses menginvasi segala ruang kita. Ruang jasmani, sekaligus ruang ruhani.

Sekarang, 50 tahun sejak pertama kali siaran televisi hadir di Indonesia, televisi  --harus disadari-- juga laksana pisau dapur. Ia bermanfaat, sekaligus juga bisa mengundang mudarat. Ia, secara nyata lebih berbahaya ketimbang yang ditemukan Gugliemo Maconi. Sebagai media pandang dengar, apa pun yang terpampang di layar kaca menjadi gampang ditiru.

Ingat saya, ketika di kampung dulu, dan siaran televisi cuma TVRI, dan radio masih berjaya dengan serial sandiwaranya. Mendengarkan sandiwara radio macam itu, sekalipun mendengarkannya secara bersama, bisa jadi imajinasi setiap orang akan berbeda. Semakin tinggi tingkat kecerdasan  imajinatifnya, semakin hidup jalan cerita sandiwara itu dalam pikirannya. Hal yang tentu sangat berbeda ketika orang menonton siaran televisi. Televisi menyuguhkan sesuatu yang ‘nyata’. Yang hidup, yang bergerak sekaligus bersuara. Karenanya, ketika sebuah tayangan miskin makna, ketika ditonton oleh pemirsa yang miskin pengetahuan, tayangan itu telah sukses memiskinkan yang telah miskin.

Contoh tentang model tayangan ini kalau disebutkan tentu sangatlah melimpah ruah. Misalnya sinetron-sinetron itu, tayangan-tayangan humor itu. Juga debat (kusir) para petinggi negeri yang muluk-muluk tetapi nol besar dalam realita itu. Padahal, pada sisi lain, rakyat yang sudah terhimpit kanan-kiri dan atas-bawah itu, ketika pulang ke rumah butuhnya hiburan. Dan sarana hiburan yang paling murah adalah televisi. Namun ketika nyaris semua saluran televisi tidak ada yang memberi kesempatan untuk pemirsa kelas rendah itu makin cerdas, apa daya; meminjam istilah AS. Laksana, tayangan-tayangan yang dibuat dengan tingkat kecerdasan sedengkul itu pun mau tak mau ditelannya juga.

Contohnya adalah ketika dulu TPI dengan sakti bisa siaran secara nasional mengalahkan sang kakak (baca: RCTI dan SCTV) yang lahir duluan tetapi masih harus menggunakan decoder agar bisa menangkap siarannya.  Itupun dalam coverage area  yang terbatas. TPI, yang milik mbak kala Tutut itu, yang adalah tak mungkin TVRI (yang hanya bersiaran malam hari, kecuali hari Minggu) berani menolak perintah agar ia mau ‘menyewakan’ pemancarnya pada siang hari kepada stasiun televisi milik putri sulung penguasa Orde Baru kala itu. Acara unggulannya adalah dangdutan dan film-film India. (Sungguh, pada titik ini, TPI sangat jauh melenceng dari namanya sebagai Televisi Pendidikan Indonesia). Dan salah satu serial unggulan film Indianya adalah Ramayana.

Karena masyarakat kita (Jawa umumnya) sangat familier dengan ceriita pewayangan, tentu suguhan serial Ramayana ini menangguk sukses luar biasa. Dan bagi anak-anak, menggemari  film ini tidak sekadar menirukan ungkapan  ‘ Hidup Sri Rama’. Tetapi juga, ada pedagang mainan yang menangkap peluang bisnis; menjual busur dan anak panah seperti yang ada di film itu. Busur dan anak panah yang terbuat dari bambu itu adalah benar-benar bisa digunakan. Dan itu, tentu bida melukai.

Itu contoh lama. Yang agak baru adalah ketika banyak anak usia SD saling banting sampai patah tulang kaki atau tangan hanya sekadar menirukan adegan Smack Down, sebuah acara ‘hiburan’ yang ditayang Latifi. Bagi pemirsa, anak khususnya, televisi amatlah berbahaya bila pihak pengelola stasiun hanya berorientasi bisnis. Semua tayangannya begitu gampang ditiru sebagai mode.

Sinetron, misalnya. Cermatilah. Adakah anak sekolah seperti dalam sinetron itu. Yang ke sekolah bermobil mewah. Yang berambut gondrong. Yang penuh konflik, penuh intrik. Yang peran guru hanyalah sebagai pelengkap saja. Menurut saya, kalaulah di alam nyata ada murid sekolah macam di sinetron-sinetron itu, adalah karena sebuah pengaruh tayangan televisi. Bahwa, bukan sinetron yang memotret realita sekolah, tetapi siswa di alam ‘sekolah nyata’  yang meniru gaya anak sekolah di 'alam layar kaca' sinetron-sinetron.

Dalam hal ini tentu tidak bisa dimungkiri bahwa para pemilik stasiun televisi itu berorientasi bisnis. Perkara siaran dari stasiun televisinya tidak membawa dampak positif kepada pemirsanya, ia kurang peduli. Yang penting acara-acara itu ber-rating tinggi. Yang utama pemasukan uang dari iklan mengalir deras.

Tentu tidak semua stasiun televisi berprinsip begitu. Ada stasiun yang idealis. Bermain lurus. Tetapi, liriklah, stasiun macam itu tak sepopuler stasiun-stasiun besar yang belakangan, kita tahu, dikuasai oleh orang-orang yang sama.

Saya sempat menaruh harap kepada stasiun televisi besar yang bermain sebagai saluran televisi berita. Saya sebut saja MetroTV dan TV One. Tetapi harapan itu, agar masih tersisa saluran yang mencerdaskan dan netral, perlahan tapi pasti mulai menipis. Benar memang, program-programnya ada yang bagus. Tidak bagusnya adalah, pemiliknya adalah orang partai. Surya Paloh, bos MetroTV, hengkang dari Golkar dan membangun Partai Nasional Demokrat. Dan TV One, semua orang tahu, itu adalah nama baru dari Latifi milik Abdul Latif yang dibeli oleh  kelompok Bakrie, ketua umum Partai Golkar. Dunia pertelevisian makin ‘ramai’ manakala belakangan, bos MNC (raksasa media yang menaungi RCTI, MNCTV (nama baru dari TPI), GlobalTV, SindoTV, Sindo Radio (nama baru dari Trijaya Network) dan beberapa media lain -- termasuk media cetak-- Hary Tanoesoedibjo juga bergabung ke Partai Nasdem-nya Surya Paloh.

Jelas sudah, sekarang stasiun televisi tidak sekadar sebagai media informasi dan hiburan, ia telah pula dijadikan sebagai kendaraan politik. Karena, pencitraan adalah hal yang mutlak perlu dalam berpolitik. Dan televisi adalah media yang sangat mendukung politik pencitraan macam itu. Contoh vulgarnya adalah, MetroTV rela menayangkan pelantikan pengurus Partai Nasdem di sebuah wilayah yang disertai orasi politik Surya Paloh dalam durasi yang panjang. Padahal itu, menurut saya, bukanlah berita yang penting-penting amat untuk televisi berita dengan cakupan nasional sekelas MetroTV. Atau, TV One yang terkesan menghindar dari pakem ‘berita itu harus berimbang’ bila sedang mewartakan luapan lumpur Lapindo, misalnya.

Tetapi, pemirsa tentu adalah pemilik kuasa penuh akan tayangan apa yang perlu dan layak ditontonnya. Dan kini, dengan begitu banyak saluran televisi, sebagai pemirsa kita bisa sesuka hati menombol remote control  untuk mencari saluran mana yang tidak memiskinkan jiwa. Dan kalau tidak berhasil menemukannya, karena semua yang tertayang di layar kaca adalah sampah, kita bisa meniru semboyan para penentang rokok. Dengan memodivikasi sedikit, kalimat itu akan berbunyi; matikan televisi atau televisi akan mematikan (jiwa) kita!*****

Sabtu, 25 Agustus 2012

Nopol Konyol

NOPOL kendaraan bermotor itu penting, makanya diadakan. Tidak hanya di sisi depan, tetapi juga belakang.
Karena sedemikian pentingnya, tidak semua orang diperbolehkan membuatnya.
Ada pihak yang berwenang. Plus segala peraturannya. Misalnya, tidak boleh bentuk huruf dan angka dimodifikasi seenak sendiri. Saking pentingnya, maka ia wajib ada. Kalau terlepas, misalnya karena baut kendor, ya harus dipasang lagi. Diikat pakai kawat pun boleh. Pakai tali rafia pun tidak dilarang. Asal angka dan hurufnya masih bisa terbaca.
Asal tidak seperti pengendara motor Honda GLMax yang saya jepret sore tadi di traffict light bundaran Satelit Surabaya. Yang mengikat plat nopolnya dengan tali rafia yang 'over dosis', sampai seolah ia hanya pamer tali itu, bukan nopolnya.
Foto: ewe.

Minggu, 19 Agustus 2012

Ini Sarungku, Mana Sarungmu?

KALAU pada ajang Grammy Award atau ajang-ajang lain yang sejenis itu ada istilah red carpet, di masjid tempat saya sholat id tadi ada green carpet. Ya, karpet selebar satu meter berwarna hijau itu dihampar memanjang sejak undakan masjid sampai ke ujung di dekat pengimaman. Peletakan yang di tengah-tengah begitu, seolah membelah masjid menjadi dua bagian, kiri dan kanan. Selatan dan utara.

Berangkatnya tadi, agak saya kebutkan langkah kaki. Dalam pikiran terbayang, kalau datang terlambat, bisa-bisa saya tidak mendapat tempat di dalam masjid. Bisa-bisa hanya di halamannya. Atau malah harus menggelar koran untuk kemudian ia dijadikan alas sajadah di jalan raya.

Saya lihat, banyak sekali calon jamaah yang duduk bergerombol di pinggir jalan. Saya terus saja berjalan. Saya terus saja berharap mendapat tempat di dalam masjid. Dan benarlah adanya. Ternyata masjid masih longgar. Terutama di lantai dua. Tetapi saya memilih di lantai satu saja. Sekalipun di ruang utama sudah penuh jamaah, saya masih mendapatkan tempat di serambinya yang masih lega. Posisi saya persis di dekat green carpet itu.

Setelah sholat dua rakaat, saya duduk sambil mengikuti takbir.
Saya melihat ke kiri kanan, dan mendapati hampir sebagian besar terlihat baju yang dikenakan para jamaah adalah baju baru. Kecuali para pengurus takmir masjid. Baju seragam berbentuk jas warna krem itu sering saya lihat saat mereka  masjid mengadakan acara. Termasuk acara sholat idul fitri ini.

Ini sarungku, mana sarungmu?
Foto: ewe.
Selain baju, yang juga pada baru adalah sarung.
Dengan poisisi yang di pinggir green carpet yang menjadi jalan masuk para jamaah yang baru datang begitu, membuat saya bisa membaca merek apa saja sarung yang mereka kenakan. Dan, mungkin, inilah bedanya sarung dan baju. Baju, mereknya seringkali dipasang  pada bagian kerah sisi dalam. Dengan begitu, saya tidak bisa membaca merek apa baju yang dikenakan orang yang barusan lewat di samping saya. Kalau sarung tidak begitu.

Merek sarung, oleh produsen sering (bahkan selalu) dijahit di bagian tengah motif sarung sisi bawah. Tepat di bagian tengah kain sarung, selebar sekitar dua puluh centi, dengan corak warna yang berbeda dari sebagian besar kain sarung itu. Dan, karena orang (termasuk saya) sudah terbiasa memakai sarung dengan lipatan sedemikian rupa, merek sarung itu dapat terbaca dengan jelas di bagian belakang paling bawah.
Secara branding itu tentu ada maksudnya. Tetapi, dengan begitu, ketika sedang sholat berjamaah, dan seorang sedang khusuk sambil agak menunduk dan memejamkan mata, ketika ia sekali saja membuka mata, kalau tidak benar-benar konsentrasi, pesan ‘iklan’ sarung itu terbaca juga. Atlas misalnya, atau Mangga, atau Wadimor, atau Gajah Duduk atau yang lainnya.

Sambil duduk bertakbir di pinggir green carpet itu, saya mendapati orang-orang lewat memakai aneka merek sarung. Dari yang umum seperti yang saya sebutkan di atas tadi, sampai merek-merek yang baru saya tahu. Yang ikut tertenun, tidak dijahit misalnya, ada merek BHS (hurufnya tertulis dengan besar dan mencolok), juga ada Sarung Samarinda dengan tenunan angka 210 di atasnya, ada juga yang agak nyeleneh. Sarung merek MPR. Entah itu produksi mana. 

Dan seorang jamaah yang di depan saya, sarungnya mengingatkan saya akan masa kecil saya dulu. Sarung yang dipakainya persis yang saya kenakan saat dikhitan. Yakni sebuah sarung batik dengan sambungan pada sisi tengah secara horizontal. Jadinya sarung ini ada dua jahitan, jahitan vertikal (sebagaimana lazimnya sarung) dan satu lagi jahitan horizontal. Saya lupa sarung saya dulu mereknya apa. Tetapi yang dikenakan orang di depan saya ini mereknya tertenun angka 210. Tanpa embel-embel kata-kata lagi.

Saya perhatikan dari belakang, sepertinya saya tidak mengenal sosok pemakai sarung yang berambut agak panjang itu. Tetapi, seandainya, angka pada bagian bawah belakang sarungnya adalah 212, tentu saya langsung menduga ia adalah si Wiro Sableng. *****

Sabtu, 18 Agustus 2012

Adik Tak Jadi Mudik

HARI Sabtu pagi (4 Agustus 2012), setelah membayar rekening PDAM di kawasan Rngkut Asri, saya langsung meluncur ke kawasan Rungkut Industri.  Tepatnya ke kantor Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Dengan satu tujuan, mendaftar ikut program mudik bareng yang digelar Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Surabaya. Saya lihat, ada beberapa orang, semua laki-laki, bermotor masuk ke kawasan itu. Sebagian besar bercelana pendek dan bersepatu olah raga.

Insting saya meragui mereka itu sedang mendaftar mudik bareng. Dan benarlah adanya. Saya perhatikan, mereka terus menuju ke sisi belakang gedung. Itu lokasi bermain futsal.

Di pintu gerbang sedang tidak saya dapati seorang petugas sekuriti. Tetapi tulisan yang membentang di pagar itu cukuplah memberi keterangangan. Bahwa; loket pendaftaran mudik bareng hanya buka hari Senin sampai Jumat dengan batas waktu hingga kuota tempat duduk bis terpenuhi. Jelas. Cukup jelas. Pengumuman itu membuat saya harus balik kanan grak.

Datang lagi hari Senin? Harusnya begitu. Tetapi hari Senin saya harus kerja. Tetapi, ternyata, untuk mendaftar tidak harus datang sendiri. Boleh diwakilkan. Ini kabar baiknya. Tetapi kabar buruk saya terima pada Senin sorenya. Bahwa; tiket mudik bareng sudah habis!

Ya, sudah.
Artinya saya sekeluarga harus naik bis reguler dari Bungurasih saat mudik nanti. Tetapi, selalu ada harapan bagi yang tiada berhenti berharap dan berusaha. Selasa pagi, adik ipar saya datang ke rumah. Mengabari kalau temannya tidak jadi mudik bareng, dan ingin ‘menjual’ ulang tiga tiket yang sudah dikantongi. Tiga tiket itu, sejumlah yang saya butuhkan. Karena, si bungsu saya masih harus dipangku ibunya kalau naik bis nanti. Maka, setuju saja saya membeli tiket itu. Toh, sekalipun tiket itu pakai nama, nantinya tidak bakal ditanyakan kalau sudah naik bis. Asalkan jurusannya sama; Jember.

Pagi itu juga saya kasih adik ipar saya uang tiga puluh ribu sebagai uang pembelian tiket. (Memang, sekali pun judulnya mudik gratis, tetapi para pemudik dikenakan uang 10 ribu per tiket sebagai penganti snack).
Tidak menunggu lama, Selasa pagi itu juga tiket telah saya terima. Tetapi, (lagi-lagi) di luar rencana, hanya ada dua lembar. Karena yang selembar telah keduluan dibeli oleh orang lain. 

Tidak apa-apa. Dua tiket itu cukup untuk si sulung dan isteri saya. Saya sendiri, rencananya, mudik dari Surabaya ke Jember akan pakai motor.


Tetapi, kabar kakek isteri saya sedang sakit, ditambah dua famili di Lamongan baru saja melahirkan, membuat skenario harus ditata ulang. Dan inilah skenario baru itu; mudik tahun ini, kembali seperti ketika mertua saya masih belum meningal dulu. Yaitu, ke Lamongan dulu, baru nanti, selepas sholat Id  balik ke Surabaya lagi untuk melanjutkan etape berikutnya ke Jember. Bukan apa-apa, di kampung isteri saya itu, malam takbiran semua orang sudah pada unjung-unjung ke sanak famili. Jadinya, seturun dari sholat Id, ya sudah ‘selesai’ lebarannya.

Jadwalnya telah saya susun sedemikian rupa. Sabtu tanggal 18 Agustus, dengan terpaksa, si sulung saya titipkan ikut mudik bareng bibinya. Toh, dengan dua tiket, ia bisa mendapat dua tempat duduk. Nanti, setelah bis berangkat, saya berkemas bareng isteri dan si bungku mudik ke Lamongan pakai motor.
Itu rencananya. Tetapi ‘susunan acara’ itu masih harus direvisi lagi ke tika tadi malam, si kecil muntah-muntah disusul badannya yang mendemam. Maka;

Mengingat: mudik pada saat Lebaran sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di masyarakat kita,

Menimbang: si bungsu tiba-tiba sakit,

Memutuskan: si sulung tetap mudik bareng bibi dan pamannya beserta dua anaknya. Saya, isteri saya dan si kecil harus tinggal di rumah sambil menunggu kondisinya membaik. Karena, membawa si kecil pergi jarak jauh, apalagi kondisinya belum sehat betul, apalagi pakai motor --khusus etape pertama Surabaya-Lamongan PP-- ditambah Surabaya-Jember berjubel dalam bis, tentu bukan perkara bijak.

Pagi tadi, setelah mengantar si sulung, dan rombongan bis (sekitar 20 armada, sebagian besar Akas) berangkat jam 7.30 ke aneka tujuan (antara lain ke Jember, Madiun, Nganjuk, Tulungagung, Bojonegoro, Trenggalek, Kediri, Tuban), saya langsung juga mengantar si kecil ke dokter.

TERTIB. Sebelum berangkat, para peserta mudik bareng diberi bingkisan (snack) oleh panitia.
Foto: Dokumen Pribadi.
Dan saat ini, ketika saya membuat tulisan ini, saya sentuh badan si adik masih saja ‘sumer’ (sungguh, istilah dalam bahasa Jawa ini  jan mak-plek (baca: sama) artinya dengan bahasa Inggris. Cuma kalau Inggris ditulis pakai dua huruf M; summer), maka tanpa menunggu penampakan hilal, 99% sepertinya saya tidak mudik dan akan mengikuti takbir dan bersholat Id di Surabaya. *****

Kamis, 02 Agustus 2012

Rezeki Lajur Kiri

Pembagian takjil gratis.
Sumber foto: kaltim.tribunnews.com
DALAM berlalu lintas, sebisa mungkin saya mematuhi segala peraturan. Misalnya, saya akan menyalakan lampu sein untuk minggir bila ponsel di saku baju saya rasa bergetar. Saya termasuk yang belum mempunyai keberanian untuk membalas telepon (apalagi SMS) sambil mengemudi begitu. Saya merasa belum mahir betul membagi konsentrasi antara mengemudi sekaligus sambil mengetik pesan singkat pada keypad ponsel. Alasannya itu saja. Bukan takut kena denda sesuai UU lalulintas yang mengenakan denda sekian ratus ribu rupiah bagi yang bertelepon sambil berkendara begitu. (Dan, setiap hari, selalu saja saya temui perilaku pengendara yang begitu. Dan, sejauh ini, belum pernah saya mendengar ada yang telah didenda atas kenekatannya itu).

Tentu aturan lalu lintas tidak hanya itu. Ada banyak. Termasuk ini; karena tunggangan saya adalah roda dua, sejak dua tahun terakhir ini digalakkan agar kami menyalakan lampu utama di siang hari. Juga, kami mendapat lajur tersendiri. Lajur kiri.

Semua peraturan itu, sekali lagi, saya selalu berupaya mematuhinya. Termasuk yang harus menggunakan lajur kiri. Dan selama Ramadhan ini, setiap sore, saya makin khusuk mematuhinya. Pertama, ya karena memang peraturannya begitu. Kedua, karena pembagian takjil gratis selalu berada di kiri jalan. Dengan berkendara di lajur kiri, kemungkinan untuk ketiban rezeki takjil gratis makin terbuka lebar. *****