Senin, 23 Juli 2012

P u l u n g

DENGAN hidung remuk dan gigi depan yang tanggal tiga, jangankan sedang meremehkan, sedang tertawa tulus pun ia akan nampak meremehkan. Belum lagi suara yang keluar dari mulutnya. Itu, kalau kau belum paham benar, akan terdengar sebagai siulan saja. Tetapi ketenarannya tiada tanding, tiada banding. Tanyakan orang sini, mulai dari ujung barat sana, jauh sampai ke selatan terminal nun di sana itu, setiap tangan akan menunjuk tepat bila engkau bertanya dimana Pulung tinggal.

Dulu, ia tidak seremuk itu wajahnya. Bayinya sungguh tidak mirip dengan bapak atau ibunya. Malah ia mirip sekali dengan Pak Subali. Pendek, sekaligus hitam. Tak ada yang tahu kenapa. Tiada pula yang mempersoalkannya. Justru, sejak saat itulah orang sekampung menyebutkan sebagai pulung. Sebuah nama yang lalu disematkan pula secara resmi oleh kedua orang tuanya.

Malam itu, Pulung masih dalam kandungan ketika besoknya pemilihan kepala desa dilangsungkan. Kau tahu, acara pemilihan kepala desa begitu, kehebohannya jauh mengalahkan riuh-rendahnya pemilihan presiden sekalipun. Rumah ibu Pulung yang berbatas tembok dengan balai desa, terasa panas entah oleh apa. Belum lagi suara-suara yang berseliweran di atas genting. “Kamu jangan keluar rumah. Kasihan bayi kita,” ayahnya mengelus perut yang di dalamnya Pulung sedang tertidur tenang.

Ayahnya keluar rumah. Bergabung dengan beberapa lelaki yang seringkali menatap langit. Ini belum tengah malam. Tetapi siapa tahu cahaya kuning keemasan telah menampakkan diri. Bersinar terang dan jatuh tepat di atas rumah salah satu calon kepala desa. Bila itu terjadi, tiada sulit meramalkan siapa yang akan menang besok di hari pemilihan. Cahaya itu, yang bersinar jatuh itu, orang menyebutnya sebagai pulung.

Sudah lebih tengah malam, pulung belum menampakkan diri juga. Kegelisahan itu, bukan melulu milik para 'jago', para calon kades, tetapi juga bagi dada para penjudi yang gila. Kalau pulung sudah terlihat jatuh ke suatu tempat, hanya penjudi yang berkepala batu yang tidak menjatuhkan taruhannya untuk kemenangannya. Kau tahu, suara pemilih akan mengalir laksana air sekalipun sebelumnya tak terpikir. Dan, 'jago' yang tidak 'ketiban' pulung, adalah laksana daun yang layu dipanggang kecewa.

Sudah menjelang jam tiga, ketika semua mata nyaris tak kuasa menahan kantuk ketika dari langit barat muncul cahaya yang terang, kuning keemasan tetapi terasa teduh dan tidak menyilaukan. Cahaya itu, perhatikan dengan seksama, tidak bimbang untuk menjatuhkan diri. Tidak ke atas rumah salah satu 'jago'. Tetapi tepat di atas rumah di dekat balai desa itu. Disusul suara tangis bayi yang melengking nyaring.

Orang sekampung heboh. Tak habis pikir mereka. Bagaimana mungkin pulung bisa jatuh salah sasaran begitu. Tetapi si jabang bayi itu, bagi sebagian orang, adalah pulung yang nyata. “Lihatlah, wajahnya mirip sekali dengan pak Subali, calon kita. Ini perlambang. Ya, pasti sudah. Pak Subali akan terpilih lagi...”

Benarlah adanya. Pak Subali terpilih lagi. Sejak itulah orang menganggap Pulung yang masih bayi itu mempunyani kemampuan linuwih.

Wajahnya memang sudah dari dulunya tidak ganteng. Tetapi masa kanak-kanak sampai remaja yang nakal luar biasa, sementara orang terlanjur tidak berani mengingatkan karena takut kena bala, menjadikan Pulung ugal-ugalan. Hidung yang remuk itu, dengkulnya yang bengkok, juga giginya yang rontok tiga itu, adalah buah dari tingkah lakunya. Tugu batas desa itu terlalu kokoh untuk diseruduk dengan motor pemberian para penjudi yang berterima kasih tebakan judinya tepat atas 'perlambang' yang didapat dari Pulung. Tidak hanya penjudi, para 'jago' (mulai kades, bupati, gubernur sampai presiden pun --seringkali hanya diwakili oleh orang suruhannya--) sering sekali memakai jasanya. Karenanya, uang mengalir tiada henti kekantongnya. Ke kantong istrinya, maksudnya.

Hei, lelaki berhidung remuk, berdengkul bengkok yang setengah ompong begitu, siapa yang sudi menjadi istrinya? Janganlah begitu. Jangan mendustai kenyataan, bahwa sebobrok apapun wajah dan otakmu, kalau uangmu segunung, ada saja bidadari yang akan dengan senang hati menjadi pendamping hidupmu.

Sekarang umurnya persis lima puluh enam tahun. Kedua orang tuanya sudah meninggal, sementara Pulung masih belum mempunyai keturunan. Diam-diam, para penjudi juga berharap istri Pulung segera hamil dan si jabang bayi segera bisa dibuat taruhan. Lahir sejelek bapaknya atau secantik ibunya. Tetapi harapan sementara ini belum kesampaian. Sampai musim pemilihan bupati datang lagi.

Empat kandidatnya. Tentu saja yang satu adalah incumbent. Dengan penantang serius bekas wakilnya. Juki, namanya. Tentangnya, perkara jujur jangan ditanya. Ia teramat bersih untuk ukuran pejabat manapun. Istrinya cuma satu dan tidak punya simpanan. Itu salah satu jualannya dalam kampanye. Malang, jujur membuat kampanyenya selalu sepi pengunjung. Mana mau orang datang berpanas-panas di lapangan hanya untuk mendengarkan paparan program. Bukan zamannya, Bung. Sementara calon lain selalu memberi kaos, uang tranport plus uang saku.

Tetapi niat sudah bulat, pantang untuk dilonjongkan. Maju terus pantang mundur. Keajaiban selalu ada. Dan, salah satu cara untuk mengintip keajaiban yang akan terjadi adalah meminta petunjuk kepada Pulung.

Bisikan itu Juki dapat dari tim pemenangannya. Enggan ia melakukannya sebenarnya. Tetapi, “Kita harus realistis, Mas.” kata adik Juki yang juga sebagai ketua tim suksesnya. “Dengan tahu lebih dulu seberapa besar kemungkinan untuk kita menang atau kalah, tentu lebih baik untuk menentukan langkah selanjutnya.”

Langkah lanjutan itu, kau tahu, adalah apakah dana dari 'sponsor' sudah cukup mampu untuk mengubah kenyataan, atau sang incumbent memang sudah tak mungkin dikalahkan.


Malam belum begitu larut ketika mobil itu harus memasuki jalan kampung yang bergelombang setelah diguyur hujan tadi siang. Setelah pekuburan dan balai desa, sebuah rumah dengan sebatang pohon kembang kantil di halaman depan, terlihat lengang. Rumah yang termasuk mewah, bahkan jauh lebih bagus dari rumah kepala desa.

Diantar adiknya, Juki ragu-ragu mengetuk pintu rumah penuh ukiran berwarna cokelat gelap. Sepi. Tidak ada tanda-tanda si empunya rumah mendengar ketukan itu. Juki mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Tiga ketukan; tok, tok, tok.

Suara batuk yang terdengar aneh sebagai jawaban. Tetapi, ketika lampu ruang tamu dinyalakan, seorang bidadari bergegas menyingkap korden di jendela dekat daun pintu. “Cari siapa?” tanya itu dilempar ketika mendapati wajah Juki yang memang belum pernah ia temui.

“Mbah Pulung.”

Bidadari itu memamerkan wajah yang asing. Tersinggung dia. Setiap kali orang memangggil suaminya dengan panggilan mbah, ia tidak suka. Bagaimana, wong masih belum punya anak --apalagi cucu-- kok sudah dipanggil mbah.

“Siapa?” suara sengau yang tak kalah aneh itu terdengar berasal dari ruang tengah.

Bidadari itu menutup lagi korden. Pintu masih dibiarkan tertutup. Malah ia melangkah menuju ruang tengah.

Wajah bidadari itu, sekalipun sudah tidak muda, (ia selisih tigabelas tahun dengan Pulung), masihlah terlihat kecantikannya. Dan Pulung, lelaki yang berjalan pengkor menuju ruang tamu itu, jangan dibilang. Dengan asal muasal yang remuk, ditambah kecelakaan yang parah, makin remuklah mukanya.

Juki dan adiknya duduk sedemikian sopan pada sofa ruang tamu yang tentu berharga mahal. Di depannya, duduk dengan nyaris semua tubuhnya tenggelam ditelan empuknya sofa, Pulung disanding istrinya. Ya, setiap ada tamu yang bukan orang kampung sini, perlu peran sertanya sebagai penerjemah.

Juki dan adiknya seakan mendengar makhluk alien berbicara dengan cepat, ketika Pulung menyampaikan kata-kata.

“Mas Pulung bertanya, sampeyan darimana, dan datang kesini dalam keperluan apa?” bidadari di sebelah lelaki pengkor itu berkata.

“Oh, begini, Bu,” jawab adik Juki sambil mengalihkan pandangan ke bidadari di depannya.

Itu, lihatlah, membuat Pulung tersinggung. Bukan tatapan matanya. Tetapi cara memanggilnya. Kukira kau pun akan begitu. Ketika engkau dipanggil mbah sementara istrimu di panggil bu, itu niscaya adalah sebuah pelecehan yang nyata.

“Kakak saya ini mencalonkan diri sebagai bupati. Tetapi kami ingin bermain cantik. Tidak pakai money politics. Kami tahu, lawan kami berat. Incumbent tentu punya banyak hal untuk dipergunakan sebagai sarana pemenangan. Kami bermaksud meminta penerawangan mbah Pulung akan peluang kami.”

Lelaki berhidung remuk itu kembali berbicara. Tetapi hanya dua kata saja. Juki dan adiknya mengira itu sebagai kata tanya 'Wani piro?' seperti bunyi sebuah iklan. Tetapi?

“Tidak bisa,” istrinya yang menerjemahkan.

“Tidak bisa? Kenapa? Bagaimana mungkin orang yang jujur dan tidak main uang tidak bisa terpilih. Kita perlu ubah semua paradigma yang keliru. Uang memang perlu, tetapi kalau uang selalu menjadi penentu terpilihnya seorang peminpin, kita hanya menunggu terjungkalnya negeri ini.” pasti semangat kampanye yang beberapa hari ini ia lakoni, masih memenuhi isi kepala Juki sehingga kalimat yang sangat tidak disukai Pulung itu meluncur seperti rentetan tembakan mitraliur.

Dikhotbahi tamu yang datang tak diundang begitu, Pulung tersinggung. Belum pernah ada orang yang datang kepadanya seberani itu. Semua diam. Semua menurut kata-katanya. Tetapi Juki? O, rupanya ia memang tidak kenal tabiat Pulung.

Pulung bicara panjang lebar menanggapi perkataan Juki. Tetapi, demi tidak makin memperkeruh keadaan, istrinya tidak sepatah katapun menerjemahkannya. Telapi raut wajah Pulung, dengan gerakan tangan yang menunjuk-nunjuk, tentulah bisa dipahami apa maksudnya. Untung saja Pulung sudah tua. Sudah tidak sebrangasan ketika muda dulu. Dulu, kalau ada orang yang berani membantah di depan mukanya, tidak segan-segan ia meludahinya. Kau tahu, diludahi orang yang dianggap punya kemampuan lebih begitu, tidak ada yang tidak takut. Bukan takut wajah menjadi terbakar atau melepuh, tidak. Tetapi, dengan model mulut yang begitu, dengan gigi yang rontok begitu, semburan ludahnya laksana gerojogan hujan.

Sambil mengomel dengan suara sengau, Pulung turun dari kursi dan berjalan pengkor masuk kamar. Istrinya berdiri menuju dekat pintu dengan gerakan menyilakan Juki dan adiknya pulang. Kakak beradik itu saling pandang, “Jadi?”

“Bapak sedang tidak enak pikiran.” bidadari itu berkata. “mencalonkanlah lagi lain kali kalau sudah ada cukup uang...”

Juki pulang dengan perasaan yang makin tidak karuan. Ia makin tidak percaya hal-hal begituan. Tetapi makin percaya pada kenyataan bahwa semua hal memerlukan uang. Lebih-lebih untuk sebuah kursi yang sedang diincarnya.

Maka, bila malam sebelum pemilihan ada benda bercahaya beterbangan di langit, percayalah, itu bukan lagi pulung. Itu santet. Itu tenung. Cahaya itu sedang membawa wajan bekas, paku karatan, gulungan rambut dengan seribu jarum, atau bisa-bisa sebuah kulkas dua pintu yang sudah rusak. Ia dikirim oleh dukun sakti untuk tidak saja dimasukkan ke dalam perutmu, tetapi juga ke otakmu.*****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar