DENGAN hidung remuk dan gigi
depan yang tanggal tiga, jangankan sedang meremehkan, sedang tertawa
tulus pun ia akan nampak meremehkan. Belum lagi suara yang keluar
dari mulutnya. Itu, kalau kau belum paham benar, akan terdengar
sebagai siulan saja. Tetapi ketenarannya tiada tanding, tiada
banding. Tanyakan orang sini, mulai dari ujung barat sana, jauh
sampai ke selatan terminal nun di sana itu, setiap tangan akan
menunjuk tepat bila engkau bertanya dimana Pulung tinggal.
Dulu, ia tidak seremuk itu wajahnya.
Bayinya sungguh tidak mirip dengan bapak atau ibunya. Malah ia mirip
sekali dengan Pak Subali. Pendek, sekaligus hitam. Tak ada yang tahu
kenapa. Tiada pula yang mempersoalkannya. Justru, sejak saat itulah
orang sekampung menyebutkan sebagai pulung. Sebuah nama yang
lalu disematkan pula secara resmi oleh kedua orang tuanya.
Malam itu, Pulung masih dalam kandungan
ketika besoknya pemilihan kepala desa dilangsungkan. Kau tahu, acara
pemilihan kepala desa begitu, kehebohannya jauh mengalahkan
riuh-rendahnya pemilihan presiden sekalipun. Rumah ibu Pulung yang
berbatas tembok dengan balai desa, terasa panas entah oleh apa. Belum
lagi suara-suara yang berseliweran di atas genting. “Kamu jangan
keluar rumah. Kasihan bayi kita,” ayahnya mengelus perut yang
di dalamnya Pulung sedang tertidur tenang.
Ayahnya keluar rumah. Bergabung dengan
beberapa lelaki yang seringkali menatap langit. Ini belum tengah
malam. Tetapi siapa tahu cahaya kuning keemasan telah menampakkan
diri. Bersinar terang dan jatuh tepat di atas rumah salah satu calon
kepala desa. Bila itu terjadi, tiada sulit meramalkan siapa yang akan
menang besok di hari pemilihan. Cahaya itu, yang bersinar jatuh itu,
orang menyebutnya sebagai pulung.
Sudah lebih tengah malam, pulung
belum menampakkan diri juga. Kegelisahan itu, bukan melulu milik para
'jago', para calon kades, tetapi juga bagi dada para penjudi yang
gila. Kalau pulung sudah terlihat jatuh ke suatu tempat, hanya
penjudi yang berkepala batu yang tidak menjatuhkan taruhannya untuk
kemenangannya. Kau tahu, suara pemilih akan mengalir laksana air
sekalipun sebelumnya tak terpikir. Dan, 'jago' yang tidak 'ketiban'
pulung, adalah laksana daun yang layu dipanggang kecewa.
Sudah menjelang jam tiga, ketika semua
mata nyaris tak kuasa menahan kantuk ketika dari langit barat muncul
cahaya yang terang, kuning keemasan tetapi terasa teduh dan tidak
menyilaukan. Cahaya itu, perhatikan dengan seksama, tidak bimbang
untuk menjatuhkan diri. Tidak ke atas rumah salah satu 'jago'. Tetapi
tepat di atas rumah di dekat balai desa itu. Disusul suara tangis
bayi yang melengking nyaring.
Orang sekampung heboh. Tak habis pikir
mereka. Bagaimana mungkin pulung bisa jatuh salah sasaran
begitu. Tetapi si jabang bayi itu, bagi sebagian orang, adalah pulung
yang nyata. “Lihatlah, wajahnya mirip sekali dengan pak Subali,
calon kita. Ini perlambang. Ya, pasti sudah. Pak Subali akan terpilih
lagi...”
Benarlah adanya. Pak Subali terpilih
lagi. Sejak itulah orang menganggap Pulung yang masih bayi itu
mempunyani kemampuan linuwih.
Wajahnya memang sudah dari dulunya
tidak ganteng. Tetapi masa kanak-kanak sampai remaja yang nakal luar
biasa, sementara orang terlanjur tidak berani mengingatkan karena
takut kena bala, menjadikan Pulung ugal-ugalan. Hidung yang remuk
itu, dengkulnya yang bengkok, juga giginya yang rontok tiga itu,
adalah buah dari tingkah lakunya. Tugu batas desa itu terlalu kokoh
untuk diseruduk dengan motor pemberian para penjudi yang berterima
kasih tebakan judinya tepat atas 'perlambang' yang didapat dari
Pulung. Tidak hanya penjudi, para 'jago' (mulai kades, bupati,
gubernur sampai presiden pun --seringkali hanya diwakili oleh orang
suruhannya--) sering sekali memakai jasanya. Karenanya, uang mengalir
tiada henti kekantongnya. Ke kantong istrinya, maksudnya.
Hei, lelaki berhidung remuk,
berdengkul bengkok yang setengah ompong begitu, siapa yang sudi
menjadi istrinya? Janganlah begitu. Jangan mendustai kenyataan, bahwa
sebobrok apapun wajah dan otakmu, kalau uangmu segunung, ada saja
bidadari yang akan dengan senang hati menjadi pendamping hidupmu.
Sekarang umurnya persis lima puluh enam
tahun. Kedua orang tuanya sudah meninggal, sementara Pulung masih
belum mempunyai keturunan. Diam-diam, para penjudi juga berharap
istri Pulung segera hamil dan si jabang bayi segera bisa dibuat taruhan.
Lahir sejelek bapaknya atau secantik ibunya. Tetapi harapan sementara
ini belum kesampaian. Sampai musim pemilihan bupati datang lagi.
Empat kandidatnya. Tentu saja yang satu
adalah incumbent. Dengan penantang serius bekas wakilnya.
Juki, namanya. Tentangnya, perkara jujur jangan ditanya. Ia teramat
bersih untuk ukuran pejabat manapun. Istrinya cuma satu dan tidak
punya simpanan. Itu salah satu jualannya dalam kampanye. Malang,
jujur membuat kampanyenya selalu sepi pengunjung. Mana mau orang
datang berpanas-panas di lapangan hanya untuk mendengarkan paparan
program. Bukan zamannya, Bung. Sementara calon lain selalu memberi
kaos, uang tranport plus uang saku.
Tetapi niat sudah bulat, pantang untuk
dilonjongkan. Maju terus pantang mundur. Keajaiban selalu ada. Dan,
salah satu cara untuk mengintip keajaiban yang akan terjadi adalah
meminta petunjuk kepada Pulung.
Bisikan itu Juki dapat dari tim
pemenangannya. Enggan ia melakukannya sebenarnya. Tetapi, “Kita
harus realistis, Mas.” kata adik Juki yang juga sebagai ketua tim
suksesnya. “Dengan tahu lebih dulu seberapa besar kemungkinan untuk
kita menang atau kalah, tentu lebih baik untuk menentukan langkah
selanjutnya.”
Langkah lanjutan itu, kau tahu, adalah
apakah dana dari 'sponsor' sudah cukup mampu untuk mengubah
kenyataan, atau sang incumbent memang sudah tak mungkin
dikalahkan.
Malam belum begitu larut ketika mobil
itu harus memasuki jalan kampung yang bergelombang setelah diguyur hujan tadi
siang. Setelah pekuburan dan balai desa, sebuah rumah dengan sebatang
pohon kembang kantil di halaman depan, terlihat lengang. Rumah yang
termasuk mewah, bahkan jauh lebih bagus dari rumah kepala desa.
Diantar adiknya, Juki ragu-ragu
mengetuk pintu rumah penuh ukiran berwarna cokelat gelap. Sepi. Tidak
ada tanda-tanda si empunya rumah mendengar ketukan itu. Juki mengetuk
lagi, kali ini lebih keras. Tiga ketukan; tok, tok, tok.
Suara batuk yang terdengar aneh sebagai
jawaban. Tetapi, ketika lampu ruang tamu dinyalakan, seorang bidadari
bergegas menyingkap korden di jendela dekat daun pintu. “Cari
siapa?” tanya itu dilempar ketika mendapati wajah Juki yang memang
belum pernah ia temui.
“Mbah Pulung.”
Bidadari itu memamerkan wajah yang
asing. Tersinggung dia. Setiap kali orang memangggil suaminya dengan
panggilan mbah, ia tidak suka. Bagaimana, wong masih belum
punya anak --apalagi cucu-- kok sudah dipanggil mbah.
“Siapa?” suara sengau yang tak
kalah aneh itu terdengar berasal dari ruang tengah.
Bidadari itu menutup lagi korden.
Pintu masih dibiarkan tertutup. Malah ia melangkah menuju ruang
tengah.
Wajah bidadari itu, sekalipun sudah
tidak muda, (ia selisih tigabelas tahun dengan Pulung), masihlah
terlihat kecantikannya. Dan Pulung, lelaki yang berjalan pengkor
menuju ruang tamu itu, jangan dibilang. Dengan asal muasal yang
remuk, ditambah kecelakaan yang parah, makin remuklah mukanya.
Juki dan adiknya duduk sedemikian sopan
pada sofa ruang tamu yang tentu berharga mahal. Di depannya, duduk
dengan nyaris semua tubuhnya tenggelam ditelan empuknya sofa, Pulung
disanding istrinya. Ya, setiap ada tamu yang bukan orang kampung
sini, perlu peran sertanya sebagai penerjemah.
Juki dan adiknya seakan mendengar
makhluk alien berbicara dengan cepat, ketika Pulung
menyampaikan kata-kata.
“Mas Pulung bertanya, sampeyan
darimana, dan datang kesini dalam keperluan apa?” bidadari di
sebelah lelaki pengkor itu berkata.
“Oh, begini, Bu,” jawab adik Juki
sambil mengalihkan pandangan ke bidadari di depannya.
Itu, lihatlah, membuat Pulung
tersinggung. Bukan tatapan matanya. Tetapi cara memanggilnya. Kukira
kau pun akan begitu. Ketika engkau dipanggil mbah sementara istrimu
di panggil bu, itu niscaya adalah sebuah pelecehan yang nyata.
“Kakak saya ini mencalonkan diri
sebagai bupati. Tetapi kami ingin bermain cantik. Tidak pakai money
politics. Kami tahu, lawan kami berat. Incumbent tentu
punya banyak hal untuk dipergunakan sebagai sarana pemenangan. Kami
bermaksud meminta penerawangan mbah Pulung akan peluang kami.”
Lelaki berhidung remuk itu kembali
berbicara. Tetapi hanya dua kata saja. Juki dan adiknya mengira itu
sebagai kata tanya 'Wani piro?' seperti bunyi sebuah iklan. Tetapi?
“Tidak bisa,” istrinya yang
menerjemahkan.
“Tidak bisa? Kenapa? Bagaimana
mungkin orang yang jujur dan tidak main uang tidak bisa terpilih.
Kita perlu ubah semua paradigma yang keliru. Uang memang perlu,
tetapi kalau uang selalu menjadi penentu terpilihnya seorang
peminpin, kita hanya menunggu terjungkalnya negeri ini.” pasti
semangat kampanye yang beberapa hari ini ia lakoni, masih memenuhi
isi kepala Juki sehingga kalimat yang sangat tidak disukai Pulung itu
meluncur seperti rentetan tembakan mitraliur.
Dikhotbahi tamu yang datang tak
diundang begitu, Pulung tersinggung. Belum pernah ada orang yang
datang kepadanya seberani itu. Semua diam. Semua menurut
kata-katanya. Tetapi Juki? O, rupanya ia memang tidak kenal tabiat
Pulung.
Pulung bicara panjang lebar menanggapi
perkataan Juki. Tetapi, demi tidak makin memperkeruh keadaan,
istrinya tidak sepatah katapun menerjemahkannya. Telapi raut wajah
Pulung, dengan gerakan tangan yang menunjuk-nunjuk, tentulah bisa
dipahami apa maksudnya. Untung saja Pulung sudah tua. Sudah tidak
sebrangasan ketika muda dulu. Dulu, kalau ada orang yang
berani membantah di depan mukanya, tidak segan-segan ia meludahinya.
Kau tahu, diludahi orang yang dianggap punya kemampuan lebih begitu,
tidak ada yang tidak takut. Bukan takut wajah menjadi terbakar atau
melepuh, tidak. Tetapi, dengan model mulut yang begitu, dengan gigi
yang rontok begitu, semburan ludahnya laksana gerojogan hujan.
Sambil mengomel dengan suara sengau,
Pulung turun dari kursi dan berjalan pengkor masuk kamar. Istrinya
berdiri menuju dekat pintu dengan gerakan menyilakan Juki dan adiknya
pulang. Kakak beradik itu saling pandang, “Jadi?”
“Bapak sedang tidak enak pikiran.”
bidadari itu berkata. “mencalonkanlah lagi lain kali kalau sudah
ada cukup uang...”
Juki pulang dengan perasaan yang makin
tidak karuan. Ia makin tidak percaya hal-hal begituan. Tetapi makin
percaya pada kenyataan bahwa semua hal memerlukan uang. Lebih-lebih
untuk sebuah kursi yang sedang diincarnya.
Maka, bila malam sebelum pemilihan ada
benda bercahaya beterbangan di langit, percayalah, itu bukan lagi
pulung. Itu santet. Itu tenung. Cahaya itu sedang
membawa wajan bekas, paku karatan, gulungan rambut dengan seribu
jarum, atau bisa-bisa sebuah kulkas dua pintu yang sudah rusak. Ia
dikirim oleh dukun sakti untuk tidak saja dimasukkan ke dalam
perutmu, tetapi juga ke otakmu.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar