DALAM hal ilmu falak atau
fiqh, pengetahuan saya sangat dangkal sekali. Makanya, dalam
penentuan awal puasa, saya selalu percaya kepada para ahlinya. Walau
ketika ditanya teman, secara guyon sering saya bilang, “Saya ikut
puasa yang belakangan, tetapi hari rayanya nanti ikut yang
duluan.”
Lalu kalau diuber pertanyaan, “Kamu itu ikut NU apa Muhammadiyah?”
Lalu kalau diuber pertanyaan, “Kamu itu ikut NU apa Muhammadiyah?”
“Aku ini Muhammad-NU.”
Tentu saja itu guyon. Tentu saja itu
hanya sebagai jawaban ngawur saja. Sekalipun begitu, dalam beberapa
kali penentuan awal puasa, selalu saya ikut pemerintah. Dan kalau
penentuan yang diumumkan pemerintah itu selalu sesuai hasil rukyatul
hilal yang dilakukan oleh tim bentukan NU, itu mungkin termasuk
kebetulan.
Membaca beberapa tulisan Agus Mustofa
(penulis buku serial tasawuf modern) di Jawa Pos, saya menjadi
tahu bahwa; semua ormas Islam kita sebenarnya telah sepakat kalau
bulan Sya'ban tahun ini berakhir pada tanggal 19 Juli 2012 pukul
11.25 WIB. Tidak ada perbedaan sama sekali akan hal ini. Kalaupun
ada, hanya tipiiis... sekali. Hanya dalam hitungan menit saja.
Dalam artikelnya, Agus Mustofa menulis,
“...Sya'ban adalah bulan ke delapan dalam penanggalan Hijriyah, dan
Ramadhan adalah bulan ke sembilan. Mestinya tidak ada jeda hari
antara Sya'ban dan Ramadhan. Begitu Sya'ban habis, langsung masuk
Ramadhan. Lha ini, Sya'ban berakhir pada Kamis, tetapi awal
Ramadhan jatuh pada hari Sabtu”
Lha, terus Jum'at itu ikut bulan
Sya'ban ataukan Ramadhan ataukan tidak punya bulan?
Jujur saya akui, saya mulai puasa
ikutan yang hari Sabtu. Sejujur saya akui pula bahwa saya tidak punya
kepinteran sama sekali tentang ilmu falak atau fiqh.
Soal saya yang lebih condong makmum ke yang memakai prinsip rukyatul
hilal dan tidak ke yang wujudul hilal itu lain hal. Lain
hal pula kalau saya tidak mantap berbuka puasa kalau belum mendengar
adzan secara langsung..
Begitulah, setiap pulang kerja di bulan
puasa, saya selalu membawa sebotol air untuk membatalkan puasa di
jalan nanti. Air itu adakalanya tidak terminum bila di jalan saya
mendapatkan sebungkus ta'jil gratis yang dibagikan orang atau
organisasi tertentu di beberapa titik jalanan kota ini. Itu kalau
ketemu. Kalau tidak, ya air itu saya teguk begitu mendengar adzan.
Selain itu, pada ponsel saya juga saya setel pengingat jam berbuka.
Misalnya hari ini maghrib jatuh pada jam 17.31 WIB.
Tetapi, karena jalanan ramainya luar
biasa saat jam pulang kantor begitu, sering sekali saya tidak
mendengar adzan sambil bermotor begitu. Sekalipun jam pengingat
ponsel telah saya rasakan getarnya dan saya dengar dentingnya di saku
baju saya, tetapi sebelum telinga saya ini mendengar sendiri suara
adzan dari sebuah masjid, kok ya rasanya saya kurang sreg
untuk segera membatalkan puasa.
Dan, sering sekali ketika saya
mendengar speaker dari sebuah masjid atau musholla, si muadzin telah
selesai menunaikan tugasnya dan sudah mengumandangakan puji-pujian
sebelum memulai sholat maghrib berjamaah. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar