Senin, 30 Mei 2011

Teka-teki Suket Teki

INI tentang klan. Tentang garis keturunan. Istilahnya; silsilah.

Dan inilah susahnya jadi orang Jawa. Minimal,Jawa-nya keluarga saya. Karena tidak seperti saudara kita yang di Batak, misalnya, yang punya nama marga. Sementara saya, sekalipun di Facebook saya ada beberapa nama teman saya yang pakai nama Winarno, mereka itu bukan saudara asli saya. Hanya kebetulan saja ada Winarno-nya. Lha kalau yang ada Winarno-nya itu beneran saudara, wah masih saudara juga dong saya sama pak Bondan yang 'mak nyuuss' itu. Tetapi tidak. Sekalipun siapa tahu, nantinya, ada organisasi semacam PWI; Persatuan Winarno Indonesia. He, he...
 Pencari suket teki.
Foto: Dok. Pribadi.

Syahdan, keponakan saya punya penyakit kulit yang bandel sekali. Sudah dibawa ke dokter spesialis Kulit dan Kelamin, dikasih salep yang lumayan mahal, juga gak sembuh-sembuh. Tadi malam, untuk entah keberapa kalinya, karena penyakitnya kambuh, dibawa lagi ke dokter. Dan dengan entah sungguhan atau tidak, karena bermacam obat telah diresepkan dan tak kunjung sembuh juga, sang dokter malah kasih advis yang agak aneh; "Ganti saja namanya agar sakitnya sembuh". Ha?!

Nama. Ya kembali lagi ke soal nama. Padahal, apalah arti sebuah nama, tulis William Shakespeare. Tapi tunggu sebentar. Ada cerita lain dari ibunya keponakan saya itu, yang tentu saja adalah adik saya. Begini; suatu malam ia bermimpi ketemu kakek yang sudah almarhum. Bilangnya, supaya sakit gatal anaknya sembuh, disuruh kasih ramuan suket teki. Sejenis rumput liar yang banyak tumbuh di sembarang tempat.

"Aha, suket teki," ujar saya ketika paginya adik saya menceritakan tentang mimpinya semalam. Ada apa dengan sulet teki?

Kata suket teki telah mampu mengingatkan saya akan dialog almarhum kakek saya dengan mbah Nurkolis yang juga telah almarhum sekitar dua dasawarsa lampau. Bahwa kami, anak cucu mbah Shodiq, nama kakek saya dari garis ibu , adalah keturunan Ki Ageng x... (maaf nama saya samarakan, takut ada keturunan sang Ki Ageng betulan yang ikut baca tulisan ini), seorang ulama dari sebuah kesultanan. Dalam hati saya berkata; masak sih saya yang 'mbelgedhes' begini ini keturunan orang hebat?

Dalam dialog yang diam-diam saya curi dengar itu, saya juga menyimak semacam kata kunci untuk mencari saudara se-silsilah. Key word-nya; 'mengko suket teki bakal ndudohke dhewe' (yang berarti; nanti suket teki bakal menunjukkan sendiri)

Saya diam saja. Tidak mencari tahu lebih banyak tentang suket teki itu. Toh, pikir saya, nanti si suket teki itu yang akan menunjukkannya sendiri. Bertahun-tahun saya tidak mengingatnya sebagai sesuatu yang berharga. Dan cenderung melupakan. Sampai suatu waktu paman saya, anak bungsu dari kakek saya, yang bekerja di Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat, Papua, mengungkit lagi si suket teki itu lewat telepon.

Dengan suara yang masih sangat saya kenal, walau sudah belasan tahun tidak ketemu langsung, paman menceritakan pencariannya tentang suket teki itu. Sungguh ulet betul dia mencari kesejatian makna suket teki itu. Sementara saya lebih asyik bikin soal Teka-teki Silang untuk edisi Minggu di sebuah harian yang terbit di kota ini.

"Suket teki", kata paman yang masa kecil dulu pernah momong saya, "Setelah saya mencari kemana-mana, adalah berasal dari kosa kata bahasa Arab. Ittaqillah, yang artinya mendekatkan diri kepada Allah. Atau bisa juga dari bahasa Jawa 'ngeteki', yang artinya kurang lebih sama dengan ittaqillah tadi."

Oalaah, suket teki, suket teki....

Menurut saya yang bodoh ini, kesimpulanya adalah; saya dan sampeyan semua memang saudara. Yang juga tidak pakai nama Winarno di belakangnya sekalipun. Siapapun, dimanapun, kapanpun. Seperti tumbuhnya si suket teki itu. Juga asalnya. Suket teki tumbuh di tanah, yang kemungkinan juga, menurut saya, juga berasal dari tanah. Manusia juga dicipta-Nya dari tanah. Nah, klop sudah.

Salam suket teki!*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar